RAMADHAN, 17



"pak.., kenapa tidak pakai voorijder saja"
aku tersenyum, asistenku yang satu ini harus berapa kali aku bilang aku tidak perlu dikawal.
"tidak usah, saya naik motor saja" aku mengambil jaket kulit yang tergantung dilemari dan mengenakannya.Asistenku masih berdiri di depanku. sepertinya dia sedikit heran. Aku menatapnya sejenak, dia gugup.
"emm,,, anu... maaf pak, tapi ini kunjungan dalam rangka...."
ya, aku mengerti.
"tidak apa-apa, saya sudah biasa. lagi pula lebih nyaman naik motor, lebih cepet dan tidak menggangggu kelancaran lalu lintas kan,?"
aku membereskan tas kerjaku dan mengambil kunci monster m620-ku. Motor ini aku dapat dari ayah sebagai hadiah keberhasilanku lulus cumlaude dulu. Entah sudah berapa tahun yang lalu.
"Ada yang masih mau kamu tanyakan,?"
aku memberi kesempatan pada asisten baruku ini. Dia baru bergabung 6bulan.
"emm.. tidak pak"
aku tersenyum dan meninggalkan ruanganku beserta asistenku. Sampai di parkir, kulihat barang2 yang akan ku bawa sudah disiapkan Reno, sahabatku. Dia sebenarnya tidak bekerja di perusahaan ini, tapi dia adalah sahabat baikku yang selalu tahu apa mauku.
"hai.., sudah siap,?" aku menyapa dia
Reno tampak terkejut dengan sapaanku,
"eh.. sudah. mau pergi sekarang bapak presdir,?"
aku tersenyum
"ah kau ini... kau yakin tidak mau ikut,?"
"kali ini tidak, dengan segala hormat aku tidak bisa menemani anda. ada urusan kantor yang harus ku selesaikan. ini saja aku bolos"
"oke. makasih ya, sudah menyiapkan ini buatku"
"yups, terima kasih saja,?"
"hahaha... oke oke, nanti kita ngopi bareng"
Reno tersenyum. Dia sahabatku sejak kecil.
Aku menstater dan melajukan monster-ku ke pintu keluar. Satpam yang berjaga dengan sigap membuka pintu gerbang.
hari masih pagi, tapi jalanan mulai macet. Alhamdulillah,,, sungguh aku tak pernah menyangka aku bisa ada diposisi ini sekarang. Anganku kembali malayang kepada asistenku, Dani yang mungkin heran kenapa aku lebih senang berkendara sendiri daripada dikawal voorijder macam pejabat lainnya. Cuaca hari ini tidak begitu cerah, tapi membawa kesejukan sendiri bagiku, membawaku pada masa ketika aku berusia 10tahun waktu itu.

----

"ayah.., bunda kenapa,?" aku ikut panik saat pagi itu ayah buru-buru membangunkanku dan menyuruh bersiap ke rumah sakit.
"Bunda akan melahirkan. Makky akan punya adek bayi. Ayo cepat bersiap nak, kita antar bunda ke rumah sakit"
Aku yang kegirangan karena akan mendapat adik tanpa banyak tanya segera menyusul ayah ke bawah. Mbak Lani memasukkan tas dalam bagasi mobil, Pak Firman juga tampak sibuk menyiapkan mobil. Ayah membantu bunda yang kesakitan masuk mobil. Aku duduk di depan samping pak Firman, sedang ayah menemani bunda yang menahan sakit dibelakang. Aku tidak tenang, aku tak pernah melihat bunda kesakitan seperti itu.
"sabar ya bunda..., la khaulawalakhuwwata illabillah..."
ayah ikut panik, bunda sepertinya menahan sakit yang amat sangat. Tapi sungguh beliau begitu tegar dimataku. Tak mengeluh sedikitpun, hanya lantunan dzikir yang kudengar lamat2 dari mulut bunda. Sesekali aku menoleh ke belakang, cemas melihat bunda.
"ya Allah..., kuatkan bunda" aku berdoa dalam hati.
Pak Firman juga ikut panik, menyetirnya tidak begitu konsen. Ini hari libur, jalanan agak macet oleh kendaraan yang mungkin sedang berlibur bersama keluarga. Jarak rumah sakit sekitar 20 menit. Aku duduk tak tenang disamping Pak Firman.
"wah pak, macet..." Pak Firman memperlambat laju mobil.
"Macet kenapa pak,?" ayah berseru sambil menenangkan bunda
"kurang tahu Pak... mungkin hari libur"
"coba cari jalan lain"
Aku hanya bisa sesekali menengok Bunda, keringat mulai membasahi dahi bunda. Ayah sesekali mengusapnya. Pak Firman segera potong jalan, mencoba mencari jalan lain.Masuk dari gang ke gang. Hingga keluar tembus jalan satu2nya ke arah Rumah sakit.
"Pak.., macet juga. Ini jalan satu-satunya ke rumah sakit" Pak Firman menyesal tidak bisa menemukan jalan lain.
"ya Allah..., kenapa macet,? nggak biasanya semua jalan macet"
Aku hanya diam, masih membisu dalam pikiran seorang anak kecil.
Pak Firman mencoba menerobos jalan, tapi percuma. Macet Total. Kulihat ayah menjadi sangat tidak sabar. Rumah sakit tinggal di depan saja, Bunda juga mulai lemah. Keringat semakin deras mengalir didahi bunda.
"baiklah, bunda... kita jalan saja, bunda masih kuat,?" ayah mencari solusi.
Bunda tak berkata apa-apa, hanya mengangguk. Sangat jelas sekali Bunda berusaha menghilangkan rasa sakitnya. Sejenak terlintas apakah dulu seperti ini juga bunda berjuang melahirkan aku,?
Ayah membuka pintu mobil dan memapah bunda pelan-pelan.
"Pak Firman disini saja, Makky juga jangan kemana-mana"
"aku ikut ayah.." aku merengek. Aku ingin menemani Bunda
"jangan nak, kamu disini saja"
"nggak mau.. aku mau ikut ayah" aku bersikeras.
akhirnya ayah mengalah. Aku mengikuti ayah menerobos kemacetan, Bunda dengan tertatih dibantu ayah melewati kendaraan demi kendaraan.
"Bunda..." aku histeris melihat bunda hampir pingsan.
"Bun... yang kuat ya Bun.." ayah segera beralih menggendong Bunda.
dengan sekuat tenaga ayah menggendong dan berjalan secepatnya menuju rumah sakit. Aku berlari-lari kecil menyamakan langkah ayah. Aku sudah bisa melihat bangunan itu. Rumah Sakit.
Hanya tinggal menyeberang saja. Dengan susah payah ayah mempercepat jalannya, aku mulai tersengal-sengal mengikuti ayah. Kulihat banyak polisi berjaga.
Ayah hendak menerobos, tapi polisi itu mencegahnya. Aku menyusul dibelakang ayah.
"tapi pak... ini darurat, saya hanya ingin menyeberang ke Rumah Sakit, istri saya akan melahirkan"
ayah berusaha minta pengertian, tapi polisi itu tetap tidak mengijinkan ayah lewat.
"Pak.., bapak punya istri kan di rumah,?" ayah membentak keras.
Sungguh, aku tidak pernah melihat ayah sekeras itu bicara pada orang.
"maaf pak, saya hanya menjalankan tugas. Sebentar lagi pak Pejabat mau lewat. Ada kunjungan." polisi itu menjelaskan
"tapi istri saya tidak bisa menunggu" ayah kembali membentak, bunda masih digendongan ayah.
"pak... bunda cuma mau menyeberang bentar" aku ikut-ikutan menjelaskan dengan nafas terengah-engah.
polisi itu menatapku, dia tampak iba. Menatap ayah dan ibu dan... menggeleng.
"ayah... sakit,,," bunda yang dari tadi diam akhirnya berucap. ayah mulai kecapean, ayah merendah dan berjongkok memangku bunda. Aku melihat ada darah mengalir dari kaki bunda.
"Bunda..." aku histeris dan menangis. sungguh, ayah tak pernah mengajariku untuk menangis, tapi kali ini aku tidak bisa menahannya.
"bunda..., sabar ya bunda,,, nak... bertahan ya bersama bunda" ayah mencoba menenangkan bunda sambil membelai perut bunda. Aku menangis sesenggukan disampping ayah. suara sirine bersahut-sahutan... puluhan kendaraan melintas lewat.
Aku menatap kendaraan itu satu per satu, apa istimewanya mereka hingga tak seorangpun boleh lewat hanya untuk menunggu mereka. Kulihat sebuah mobil mewah hitam mengkilat lewat. Di kursi belakang duduk seorang laki-laki setengah baya berjas hitam. Aku tak asing dengan orang itu, aku sering melihatnya ditelevisi. Aku kembali melihat ayah dan bunda. Bunda tampak sangat lelah, ayah juga tampak sangat menyesali diri sendiri karena tak bisa berbagi rasa sakit yang dirasakan bunda.
Setelah suara sirine dan kendaraan2 itu lewat, polisi membuka jalan. Ayah berlari tanpa peduli dengan mobil-mobil yang membunyikan klakson dan polisi yang marah-marah. Aku menyusul ayah dengan susah payah. Sampai di pintu rumah sakit, Bunda pingsan dan para perempuan berbaju putih membawa bunda masuk ke ICU, ayah dan aku menunggu diluar. Ayah tampak sangat kalut, aku tahu ayah ingin menangis. Tapi ayah tak pernah memperlihatkan air matanya pada orang2 yang membutuhkan dia sebagai tempat berlindung.
"ayah... bunda nggak apa-apa kan,?" aku menangis sesenggukan.
ayah memelukku.
"kita berdoa sama Allah ya nak, semoga bunda dan adik kamu nggak apa-apa"
aku menangis dalam pelukan ayah, sedikit membuatku lega. Rengkuhan yang kuat dan hangat. Ya, ayahku memang laki-laki sejati. Aku ingin seperti ayah. Dalam diam aku menangis. Ayah mengusap rambutku seraya berkata "semua akan baik-baik saja nak".

---------

Aku menghela nafas sejenak. Bunyi klakson mengembalikanku pada dunia yang penuh keseimbangan ini. Tujuanku hanya beberapa meter lagi. Kendaraan saling berkejaran dengan waktu, aku melajukan monster-ku dengan santai. Kulihat mobil mewah hitam mengkilat dengan no. polisi yang sedikit melintas lewat dikawal beberapa kendaraan saja. Yach..., sudah berapa puluh tahun yang lalu, tapi masih begitu jelas. Akhirnya aku harus kehilangan Bunda dan adikku hanya demi keegoisan para wakil rakyat itu. Wakil rakyat,? hah... aku menyebutnya munafik, terlalu kejam mungkin tapi mereka lebih kejam. Mereka membuatku kehilangan Bunda dan adikku. Walaupun ayah selalu bilang, hidup-mati ditangan Allah nak..., jangan pernah menyalahkan siapapun.., tapi kalau saja waktu itu para wakil rakyat itu mau tahu kalau jalan umum adalah untuk kepentingan umum yang dibiayai oleh pajak rakyat (aku tahu setelah aku beranjak SMP)bukan hanya untuk mereka saja, tentu saja bunda masih bisa tertolong. Aku sangat membenci mereka. Aku bahkan muak melihat mereka sok berbicara atas nama rakyat, demi kepentingan rakyat... astaghfirullah..., ampuni aku ya Allah,,,
Sejak hari itu, aku memang tidak ingin menjadi pejabat tapi aku harus jadi pejabat. Agar aku bisa benar2 berbagi dengan masyarakat yang membutuhkan, tanpa harus merampas hak-hak mereka sedikitpun. Itu pula alasannya kenapa aku lebih suka menggunakan kendaraan sendiri tanpa dikawal siapapun. Kata ayah, kalau kita ingin berbuat baik, jangan pernah mengorbankan orang lain. Kalau memang kita berniat baik untuk melakukan sesuatu, kenapa harus pamer dengan dikawal orang sekampung...? demi keselamatan...?? keselamatan siapa,?
sekali lagi aku istighfar pada-Mu ya Rabb,,, semoga apa yang menjadi prasangka burukku pada mereka itu salah.

"om Makky...,"
anak-anak itu berseru melihat kedatanganku, seorang ibu-ibu setengah baya keluar... melihatku beliau berseru memanggil pengurus yang lain.
Aku turun dari moge dan mencium tangan ibu itu, seusia bunda seharusnya.
Beliau tersenyum, "sendiri saja nak...?"
"iya bu.., reno sedang ada kerjaan di kantor" biasanya aku ke sini bersama Reno.
Ku lihat anak-anak sudah berebut mengambil barang2 yang ada dimotorku. Beberapa pengurus panti mengambil barang-barang dan membawanya masuk meminta anak-anak untuk tidak berebutan.
Aku tersenyum. Inilah yang ku sebut kebahagiaan, melihat ulah dan kepolosan mereka sangat menyenangkan. Menghilangkan penat dan segala urusan duniawi. Tanpa ada media massa ataupun kamera yang meliputnya. Tanpa harus membawa orang se-kampung untuk mengantarkanku ke tempat ini. Hanya cukup aku dan niatku saja.
Alhamdulillah....,


*tks ayah, ibu... untuk semua cinta kalian padaku,,, Luph U,...

Komentar

  1. patut dicontoh tuh ma pejabat2
    hehehehe..

    BalasHapus
  2. @ anonim : tks
    @ jjajangmyeon : kenapa nama korea harus double ya huruf depannya,?

    BalasHapus
  3. tergantung pronunciationnya pooh..

    BalasHapus
  4. @jjangmyeon : nokomen, hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART