HATI SELUAS SAMUDERA #6

Madiun
11 Mei 2011, 09.54 wib

perempuan tua yang terbujur lemas di kamar ini tampak sangat teduh. Wajahnya penuh keriput, dialah ibuku yang telah berjuang keras demi anak-anaknya. Laki-laki tua di sampingnya tampak dengan bebas menyulut lintingannya. Dialah ayahku, laki-laki yang hanya tahu untuk makan tanpa pernah memikirkan kehidupan anak-anaknya.

"pak, maaf... ini rumah sakit, kalau mau merokok di luar saja" aku berujar dengan sangat sopan. Bagaimanapun juga dia orang yang harus kuhormati dan tempat ku berbakti, meskipun aku tahu dia tak menjalankan kewajibannya sebagai seorang ayah dengan baik. Laki-laki itu beranjak dari duduknya sambil bergumam tak senang. Aku hanya mencoba sabar.

"istrimu mana Le,?" ibu yang tampak lemah tiba-tiba bertanya.
"Asih baru nyuci baju di kamar mandi bu.." aku menjelaskan.

Ah, istriku itu... dia sangat sabar dan telaten merawat ibuku selama sakit, pakaian kotor dan bau pesing tak pernah dia keluhkan. Aku benar2 bersyukur memiliki Asih. Perempuan yang mau kuajak hidup dari nol. Perempuan yang selalu menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku, perempuan yang sederhana dan tak pernah meminta macam-macam. Aku tahu sebenarnya dia juga ingin seperti wanita lain yang memakai baju dan perhiasan bagus, berdandan wangi dan cantik, tapi Asih tak pernah meminta sekalipun. Bahkan aku tak memberinya uang belanja saja dia diam, tapi selalu ada makanan di meja setiap aku pulang kantor. Dia memahamiku dengan sangat baik, dia mendukungku dengan sangat baik, karena dia dan anak-anakku lah aku terus bekerja keras, ya demi melihat istri dan anakku tersenyum bahagia, merekalah alasan utamaku.

"Le..., maafkan ibu ya..." air mata bening itu jatuh. Aku menggenggam erat tangan ibuku.
"ibu ndak usah mikir macam-macam... yang penting ibu sembuh, sehat" aku menguatkan ibu.
"ibu ndak tahu kapan gusti Allah manggil ibu... Ibu ingin minta maaf sama kamu, sama Asih..." ibu makin membuatku ingin menangis.
Tapi aku anak laki-laki. Aku tak kan menangis di depan orang yang harus kulindungi.
"sudahlah bu, gak usah banyak pikiran. Aku sama Asih gak pernah marah kok sama ibu, Asih juga sayang banget kan sama ibu sama bapak juga,?" Aku mencoba menenangkan pikiran ibu.
"ibu tahu Le.., itu sebabnya ibu minta maaf,,, ibu minta maaf pada kalian..."

Ah... maaf,? seorang ibu minta maaf pada anaknya,? bukankah selama ini aku yang sering melawan ibu,? bukankah selama ini ibu selalu berjuang keras demi kehidupanku yang lebih baik,? kenapa harus ibu yang minta maaf... Aku tahu, terkadang keinginan anak dan orang tua itu berbeda. Sama halnya dengan 10tahun lalu... ketika aku melamar Asih menjadi istriku. Orang tua manapun selalu ingin hal terbaik untuk anaknya, tapi terkadang hal yang dianggap baik itu belum tentu membuat sang anak bahagia. Ibu menentang keras pilihanku, alasannya simple... Asih, gadis dari keluarga tak mampu... besar di lingkungan yang berbeda denganku. Walaupun aku juga bukan orang kaya seperti di sinetron-sinetron, tapi setidaknya aku memiliki darah biru. Ah, darah biru,? setahuku semua manusia darahnya berwarna merah, tak ada yang biru jadi di mataku semua sama. Kakak dan adikku juga banyak yang menentang, alasan-alasan yang tak masuk akal mereka kemukakan. Aku mengenal Asih lebih baik dari mereka. Aku juga bukan arjuna yang tampan rupawan, aku hanya seorang laki-laki biasa... lalu apa yang salah dengan Asih,? karena dia bukan orang kaya,? karena dia hanya berpendidikan SMP,? karena dia tidak tinggi semampai dan cantik rupawan,? karena dia tidak sederajat denganku,? derajat yang mana... bahkan aku tak mengerti, aku bukan orang kaya, aku juga tidak tampan... kupikir aku sama saja dengan Asih walaupun dari segi pendidikan memang ibuku berjuang keras demi pendidikan anak-anaknya agar bisa lebih maju dan hidup lebih baik. Ibuku sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya, meskipun banyak orang yang menertawakan ibuku. Tapi inilah ibuku.... dia wanita hebat, dia berhasil membuatku dan saudara2ku menjadi orang yang jauh lebih baik. pernikahanku dan Asih memang tak begitu direstui oleh keluargaku. Tapi aku yakin dengan pilihanku, aku yakin kelak mereka bisa menerima Asih dengan baik. Diawal pernikahanku, tak sedikit adikku mengolok-olok Asih. Aku tahu Asih sering menangis ketika aku pergi bekerja, tak lain karena perlakuan adik dan ibuku yang sering menyindir dan mengatai Asih.

Akhirnya aku memutuskan mengontrak rumah dekat tempat kerjaku bersama Asih, aku tak mau Asih merasa tak nyaman di rumah saat aku bekerja. Hingga aku memiliki anak, ibuku masih tidak begitu menyukai Asih. Walaupun ibuku sangat sayang pada anak-anakku, tapi tidak pada istriku. Aku hanya bisa meminta istriku sabar. Dan Asih-pun hanya manusia biasa... terkadang Asih sendiri juga tak bisa sabar, dan dia hanya bisa menangis dan menceritakan perasaannya padaku. Ujung-ujungnya terkadang aku ribut sama Asih. Hingga dua tahun terakhir, ayah dan ibuku sudah tak sekuat dulu. Kakak dan adikku juga telah bekerja di luar kota, sehingga aku mengajak Asih kembali ke rumah orang tuaku untuk mengurus mereka. Dengan berat hati Asih mengiyakan. Rumah kontrakan yang sudah ku beli akhirnya kujual untuk memperbaiki rumah orang tuaku yang keadaannya benar-benar memprihatinkan. Ah, beginilah orang tua... selama masa mudanya bekerja keras demi anak-anaknya, tapi ketika anak-anak yang mereka harapkan telah dewasa, satu per satu pergi meninggalkan mereka. Pergi untuk mimpi dan cita-cita mereka, cita-cita orang tua juga. Dan ibuku tak pernah mengeluh atau menghalangi ketika anak-anaknya pergi satu per satu meninggalkan beliau. Bukan karena sudah tak sayang, tapi karena ibuku tahu di luar sanalah anak-anaknya akan berkembang dan mengepakkan sayapnya lebar ke angkasa. Bersama doa ibu menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Kelak, aku juga akan merasakan hal yang sama.

Dua tahun tinggal bersama ibuku, keadaan tetap sama. Ibuku tetap tak menyukai Asih, pernah suatu hari aku dan ibuku bertengkar hebat hanya karena hal sepele, lauk yang hilang. Ibuku menganggap Asih mengambil lauk di lemari makan beliau. Memang, walaupun hidup bersama tapi aku dan ibuku memiliki dua dapur. Karena aku memang tak mau Asih semakin disepelekan ibuku jika menumpang dapur. Akibat kejadian itu, akhirnya aku membagi rumah menjadi dua bagian. Kusekat dengan tembok agar ibu tak kehilangan barang-barangnya lagi. Asih menangis waktu itu, siapa yang tak sakit hati dituduh mencuri di rumah sendiri... padahal demi Tuhan, Asih tak melakukannya. Uang belanja yang kuberikan pada Asih, walau hanya cukup untuk makan tapi kami tidak akan mengambil barang yang bukan milik kami. Sejak itu, aku serasa menjadi anak yang durhaka. Tapi ego-ku lebih besar, aku memilih tetap hidup terpisah dengan ibuku. Beberapa bulan kemudian ibu jatuh sakit. Sedang bapak tak bisa diharapkan apa-apa, yang bapak tahu hanya dilayani dan makan. Akhirnya aku luluh, tembok penghalang antara aku dan ibu kubuka. Asih merawat ibu dengan baik. Selama ibu sakit, Asih lah yang memasak untuk bapak. Menyuapi ibu makan, menuntun beliau ke kamar mandi di saat aku bekerja, dan semua pekerjaan diambil alih Asih. Setiap pagi Asih harus menyiapkan sarapan untukku, menyiapkan sarapan untuk bapak, memandikan anak-anak dan mendadaninya ke sekolah, menyiapkan bekal anak-anak, memandikan ibu yang memang harus bedrest tak bisa ke mana-mana, dan segudang kesibukan lain. Aku tak bisa membayangkan betapa repotnya Asih.

Dua bulan ibu sakit, kata dokter karena memang usia beliau yang sudah tua. Saudara2ku yang di luar kota yang selalu dibanggakan ibuku karena mereka menikah dengan orang2 sederajat pun juga tak bisa sering2 menengok ibu. Hanya sesekali setiap minggu mereka berkunjung, dan itu juga tak mengurangi beban Asih. Justru mereka yang notabene disebut ningrat malah menambah daftar pekerjaan Asih. Setiap mereka datang hanya duduk2 menunggu di samping tempat tidur ibu, bercakap-cakap, sudah. Tetap Asih yang harus memasak untuk makan siang mereka, menyuapi ibu, mengganti pakaian ibu, mencuci pakaian ibu, membersihkan tempat tidur ibu yang bau pesing. Hingga minggu kemarin dokter menyarankan membawa ibu ke rumah sakit karena kondisinya yang makin parah. Dan sudah seminggu ini aku dan Asih merawat ibu di rumah sakit. Tentu saja hal ini membuat Asih makin sibuk karena harus bolak-balik rumah sakit dan rumah. Ada anak-anakku juga yang harus diurus Asih, aku tidak memiliki cukup uang untuk membayar seorang pembantu.

"Le.., maafkan ibu..." tak terasa mataku berkaca-kaca, cepat aku mengendalikan emosi agar tak menangis.
Asih menghampiriku, menatap ibu lembut. Lalu duduk di sampingku.
"nduk.. maafkan ibu..." pelan ibu meraih wajah Asih, merabanya dengan lembut.
Aku tahu Asih ingin menangis, itulah sentuhan penuh kasih sayang yang diharapkan Asih selama ini.
"ibu gak usah mikir macam-macam, yang penting ibu sehat..." Asih menggenggam tangan ibu.
"uhuk uhuk" ibu terbatuk, asih sigap hendak mengambil air minum sebelum ibu menghentikannya.
"jangan pergi kemana-mana nduk..., di sini saja nemenin ibu" Asih kembali duduk, menatap ibu dengan lembut.
"ibu titip bapak ya nduk..., bapak itu tidak bisa apa-apa, mintanya dilayani terus... kamu yang sabar... ibu percaya sama kamu" Asih hanya membisu, aku juga.
Aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Tanpa ibu bilang pun pasti aku akan merawat bapak dan ibu. Bukankah kalian yang merawatku hingga sebesar ini,?

"mendekatlah nduk..." Asih mendekatkan wajahnya ke ibu. Dan sambil menangis ibu mencium lembut pipi Asih. Hal yang tak pernah ibu lakukan selama ini.
"kelak.., cucu-cucuku akan menjadi orang yang berhasil, dan berbakti pada orang tuanya... kau jangan menangis nduk.., kau bisa jadi ibu yang baik untuk cucu-cucuku" Asih makin menangis, semua perasaan marah dan benci yang terpendam mencair bersama sejuknya hati yang penuh kasih.

sore itu, kakak dan adikku datang setelah aku memberi kabar kalau ibu telah dipanggil Sang Khalik. Tangis mereka pecah, tapi dari sekian banyak suara tangis yang terdengar... aku melihat ketulusan yang dalam dari Asih. ya, istriku itu tak meraung-raung seperti saudara2ku yang lain. Dia hanya diam memangku si bungsu, tapi dalam diamnya aku tahu Asih sangat kehilangan ibu. Kehilangan sosok yang selama ini dia rindukan.

"orangtua kita tetaplah manusia biasa, apapun kesalahan mereka... bergegaslah pulang untuk menemui mereka..., karena kita tak pernah tahu sampai kapan kita bisa bersama mereka...."

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART