DEANTA

CobanRondo-Batu
Sore di desa ini masih sama, udara yang kuhirup beberapa tahun lalu sebelum aku meninggalkan desa ini tetap masih sama. Kuhirup kuat-kuat, semilir angin yang merasuk menembus dinding-dinding tipis kulitku. Sedikit sakit di hidung karena dinginnya udara sore ini. Aku menatap lepas ke arah lapangan bola dibawah bukit. Anak-anak telanjang dada dan tanpa alas kaki berlari kesana-kemari mengejar bola. Hujan yang baru saja berhenti membuat kaki mereka penuh lumpur. Badan cungkring yang hanya berbalut tulang terjatuh oleh dorongan temannya yang lebih berisi. Tapi dia pantang menyerah, bangkit dan berlari mengejar kulit bundar, ah plastik bundar tepatnya. Aku tertawa kecil, anak itu luar biasa.

"menyenangkan bukan?" aku tersentak oleh suara laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakangku.
"kang.. ada apa?" rupanya kang Yopi, kakak laki-lakiku satu-satunya.
"Dicari ibu" kang Yopi duduk disampingku diatas bukit menikmati udara sore itu.
"ada apa" aku masih belum beranjak.
"gak ada apa-apa. Ibu cuma khawatir saja, kamu keluar gak bilang-bilang" Kang Yopi menemaniku duduk dibukit. Aku menghela napas, terbayang wajah tirus ibu yang sudah penuh keriput. Jari jemarinya yang kasar karena selalu bekerja keras, dan juga wajah tua ibu yang lebih tua dari usianya.
"melihat orang di desa ini, rasanya beda sekali ya kang" aku memulai obrolan.
"kamu kangen tho" Kang Yopi mencoba menebak arah pembicaraanku.
"lima tahun kang, rasanya sudah sangat berbeda. Aku benar-benar merasa malu sama diriku sendiri"
"apa tujuan kamu sebenarnya nduk?" Kang Yopi kembali mengingatkanku pada perasaan itu. Perasaan terombang-ambing tanpa kepastian. Ya, apa yang sebenarnya kucari?
Aku terdiam, menatap sekilas ke arah bukit diseberang, tak banyak berubah. Anak-anak di bawah bukit yang tengah berlarian mengejar bola sudah tumbuh besar dengan cepat. Si cungkring itu, dulu terakhir aku melihatnya masih ngempeng dan sekarang siapa sangka dia sudah tumbuh menjadi anak yang kuat dan pantang menyerah. Lima tahun, perubahan itu pasti ada hanya saja tergantung diri kita ingin berubah seperti apa. Teman-teman sekolahku, bahkan sekarang sudah ada yang beranak dua. Bahkan adik-adik kelasku yang dulu sempat kuajari pelajaran yang tidak mereka mengerti sekarang juga telah banyak yang menikah. Memiliki momongan, dan suami mereka seperti kebanyakan warga desa ini bekerja serabutan di sawah, ladang, atau mencari kayu di hutan. Segala pekerjaan mereka jalani dengan upah tak seberapa. Tapi mereka tetap bisa hidup.

"aku... cuma pengen bahagia aja kang" aku melihat anak-anak yang tengah mencoba menjebol gawang lawannya di bawah sana. Bahagiakah mereka? Berlari dengan celana compang-camping dan tanpa pakaian. Kaki dan tangan penuh lumpur, badan hitam dekil,... rambut acak-acakkan nan gimbal, tapi mereka tetap tertawa bersama komunitasnya. Bagaimana jika mereka keluar dari zona nyaman ini? sanggupkah mereka tetap tertawa seperti itu ketika bertemu dengan anak-anak kota yang notabene bersih, rapi, wangi, dengan segala macam gadget ditangan mereka.

"bahagia yang bagaimana nduk? apa kamu tidak bahagia sekarang?" Kang Yopi, meskipun dia hanya lulusan SMP tapi aku selalu kagum akan cara berpikirnya. Setelah lulus SMP, kang Yopi memilih membantu ibu memenuhi kebutuhan hidup, juga menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Meskipun akhirnya ditengah jalan aku tak mampu menyelesaikan sarjanaku, setidaknya sekarang aku tengah berusaha untuk mewujudkan mimpi itu.

Anganku kembali melayang pada kehidupanku yang sekarang dan lima tahun lalu... di saat pertama kali aku memutuskan merantau ke kota demi masa depan dan juga mengangkat derajat keluargaku. Saat itu, aku lebih bahagia dari sekarang.... benarkah?

....... Part. 2

Komentar

  1. bahagia itu sederhana, sesederhana keinginan para pegawai untuk pulang cepat pas mati lampu...xixixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. sesederhana gue yang pengen perut rata...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART