HATI SELUAS SAMUDERA #7



Telaga Ngebel, Ponorogo, Jawa Timur

Madiun, 05 November 2014
Kembali Menulis…


“Itu kakakmu?” Reifan bertanya saat melihat sesosok perempuan cantik dengan balutan busana seksi menyanyi di kafe malam itu. Aku hanya tersenyum malu.
“Dia cantik, berapa semalam?” Tyo menambahkan sambil berkelakar disambut tawa teman-temanku. Dengan sigap aku memegang kerah baju Tyo hendak memukulnya, sebelum Reifan dan yang lain menghentikanku.
“Hei… dia hanya becanda, jangan diambil hati Han” Reifan mengingatkanku.
“becanda kalian tidak lucu” aku melepaskan tanganku dari kerah Tyo, muka Tyo sudah memerah entah karena tidak menyangka dengan reaksiku atau karena dia marah dengan sikapku. Malam itu, aku dan teman-temanku tak sengaja melihat kakakku, Wening yang menjadi penyanyi kafe ketika sedang dalam perjalanan pulang dari bakti sosial kampus.
---------
“Ini jam berapa? Baru pulang?” aku sengaja menunggu kakakku pulang hingga jam 03.00 dini hari. Ibu sudah tidur karena tidak enak badan, dan adik-adikku juga sudah tertidur sejak sore. Mbak Wening tampak kaget melihatku masih berjaga.
“Ah, Han… tumben belum tidur, ada apa?” seperti biasa tanpa rasa bersalah dia bertanya dengan ringan.
“Kau dibayar berapa untuk semalam?” entah kenapa aku tiba-tiba menanyakan hal itu. Hal yang aku tahu seharusnya tidak boleh kukatakan pada kakakku satu-satunya. Mbak Wening tampak kaget dengan pertanyaan tak biasaku, tapi aku bisa melihat dia jauh lebih bisa menguasai dirinya daripada diriku. Mbak Wening duduk disampingku.
“Kau kenapa? Kau tahu kan aku kerja buat kalian, dan kau tahu persis apa yang kukerjakan”
Aku mencoba untuk tidak menatap matanya. Aku tahu aku akan kalah saat melakukan hal itu.
‘brak’ entah kenapa emosiku terpancing begitu saja, aku merasa marah entah pada kakakku atau pada diriku sendiri. Aku memukul meja keras. Mbak Wening tampak ikut emosi.
“Han..!!!” mbak Wening membentakku.
“terserah mbak… tapi aku capek hidup dari uang mbak Wening,,, mulai sekarang aku akan kerja dan cari uang buat ibu dan adik-adik, mbak Wening gak perlu lagi menjadikan aku dan adik-adik maupun ibu sebagai alasan mbak bekerja di kafe setiap malam…!!!” aku meninggalkan mbak Wening begitu saja, aku tahu kalau kulanjutkan aku akan semakin merasa bersalah sebagai laki-laki tertua di keluarga ini yang hanya bisa mengandalkan Mbak Wening dan merasa menjadi adik yang tidak baik. Aku masuk ke kamarku, kudengar samar2 suara ibu.
“Ada apa Ning?” Ibu sepertinya terbangun akibat suara berisik yang kutimbulkan.
“Ah gak apa-apa Bu… Ibu lanjutkan istirahatnya, Ning juga mau istirahat”.
---------------
Pagi ini aku tidak masuk kampus, aku sengaja mencari lowongan pekerjaan. Aku sengaja tidak memberitahu ibu, karena aku tahu Ibu pasti tidak setuju jika aku bolos kuliah. Mbak Wening, ah… biarkan saja, aku tak mau terus menjadi bebannya. Selama ini, Mbak Wening sudah banyak berkorban buat keluarga. Mbak Wening memilih bekerja setelah lulus SMA hanya demi membantu Ibu dan menyekolahkanku dan adik-adik. Bekerja siang dan malam tanpa peduli dengan omongan orang lain. Aku sendiri sebenarnya tahu persis seperti apa kakakku itu. Tapi bagaimanapun juga, aku tak mau kakakku direndahkan orang lain. Aku tak pernah menyalahkan orang-orang yang berpikir buruk tentang kakakku, ada asap pasti ada api. Orang-orang berpikir buruk tentang Mbak Wening juga karena Mbak Wening sendiri yang memilihnya. Meskipun dengan alasan demi menghidupi keluarga, bagiku yang namanya hidup itu adalah pilihan. Aku bisa hidup prihatin dan membantu Mbak Wening bekerja tanpa putus kuliah. Aku percaya bahwa Allah swt akan selalu bersama hamba-hambaNya yang tidak pernah berputus asa. Aku menyusuri setiap perusahaan maupun toko-toko dan rumah makan menanyakan lowongan pekerjaan. Aku tahu gajinya tidak akan seberapa, setidaknya aku bisa membuktikan pada Mbak Wening bahwa dia tak harus kerja di kafe itu lagi sebagai penyanyi. Mbak Wening hanya perlu mengambil part time ataupun mencari pekerjaan tetap lainnya di siang hari. Aku sudah lelah melihat Ibu yang setiap hari selalu dicibir tetangga karena pekerjaan Mbak Wening, bahkan pernah suatu hari warga melakukan demo karena menganggap Mbak Wening telah mencemari nama baik seluruh warga dan meminta kami pindah.
---------
 Pukul 03.00 dini hari, aku kembali menunggu kepulangan Mbak Wening. Sejak kejadian pagi itu, aku memang belum bicara sepatah katapun dengan kakakku itu. Sebenarnya aku sangat menyayanginya, hanya saja mungkin aku tak bisa mengatakannya dengan baik. Kali ini niatku bukan untuk marah seperti sebelumnya, tapi aku ingin Mbak Wening tahu bahwa aku sudah dewasa dan bisa membantunya.
‘cklek’ Mbak Wening membuka pintu, dia tampak kaget melihatku duduk di ruang tamu.
“Han… Kau belum tidur?” pertanyaan klasik kakakku. Aku tersenyum, menyambutnya. Kuajak Mbak Wening duduk di sampingku. Mbak Wening merasa sedikit heran. Dia terus menatapku.
“Mbak… Maafkan aku soal yang dulu itu” aku memulai pembicaraan.
“em..” Mbak Wening mengangguk. Wajah ayunya berasal dari Ibu.
“Mbak… aku mendapat pekerjaan” setelah berputar-putar seminggu dan dengan bantuan teman-temanku akhirnya aku mendapatkan pekerjaan sebagai OB di salah satu perusahaan. Memang gaji yang ditawarkan tidak terlalu besar, tapi aku yakin ini akan membantu menghidupi keluarga. Mbak Wening tampak bengong.
“Pekerjaan?” Mbak Wening masih bingung. “Ya. Pekerjaan,,,, sebagai OB di sebuah perusahaan” aku menjelaskan.
“Bagaimana dengan kuliahmu?” Mbak Wening masih saja mengkhawatirkanku.
“Mbak, jangan khawatir… aku sudah semester 7 sekarang dan sudah ambil skripsi. Aku akan tetap kuliah kok, aku janji akan lulus dengan nilai yang baik meskipun aku bekerja, tapi….”
“tapi apa?” mbak Wening melihat kegalauanku. Aku terdiam cukup lama, tak tahu apakah harus mengatakan ini atau tidak.
“Tapi… mbak berhenti jadi penyanyi kafe, karena….” Aku tertunduk, menahan air mata. Ini memalukan bagi seorang laki-laki untuk menangis. Mbak Wening masih khidmat menunggu ucapanku selanjutnya.
“Karena… karena aku sayang Mbak Wening, aku… aku sayang Ibu, dan aku sayang adik-adik… dan aku… aku menyayangi warga komplek ini mbak… aku gak mau karena pekerjaan mbak, mbak direndahkan dan warga di sini menjadi tidak nyaman” aku mengatakannya, aku melihat mata Mbak Wening berkaca-kaca, seulas senyum tersungging.
“Mbak mengerti…” ucapan itu membuatku lega, Mbak Wening memelukku.
“Tapi… kau tahukan biaya kuliah dan sekolah adik-adik itu mahal, Mbak juga gak mau kalo Ibu bekerja seperti dulu menjadi tukang cuci baju, Mbak pengen membahagiakan Ibu” Mbak Wening masih tampak ragu dengan keputusanku.
“Aku tahu mbak… Mbak percayakan sama Allah swt?” ya, hanya itulah satu-satunya kata yang aku tahu bisa meyakinkan Mbak Wening. Mbak Wening menatapku lama, entah apa yang dia pikirkan. Namun tiba-tiba Mbak Wening terisak, “astaghfirullahhal’adziim…”
Kedua tangan Mbak Wening menutup mukanya, terisak. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Mbak Wening, setahuku Mbak Wening tak pernah absen dari sholat 5 waktu. Yang kutahu, Mbak Wening sangat sadar bahwa pekerjaannya membuatnya berpakaian tidak pantas untuk seorang muslimah. Yang kutahu, mbak Wening selalu beristighfar dalam sujudnya. Tapi entah kenapa kali ini mbak Wening terisak dan seolah menemukan sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah aku tahu. “Terima kasih ya Rabb…”



sebelumnya Pooh Corner: HATI SELUAS SAMUDERA #4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FRIENDSHIP

SUBHANALLAH.., AKU MENCINTAINYA,,,

TEROR HANTU