BUKAN SEKEDAR CINTA #5

Madiun,
Jeda Coffee Break


Intermezo...
pic from www.cherrylola.com
Akhir-akhir ini sedang suka menulis tentang cerita cinta masa sekolah. Ketika kembali ingat akan cerita cinta teman-teman dan juga pengalaman pribadi. Banyak hal positif yang bisa membuatku belajar. Bahwa persahabatan dan cinta adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Karena itu sangat sayang sekali jika sebuah kisah indah persahabatan harus berakhir karena cinta. Justru harusnya kisah indah persahabatan akan semakin indah karena ada kisah cinta dibaliknya. Cinta diam-diam. Cinta tanpa syarat. Cinta yang tak sempat terucap namun akan tetap terkenang, karena dimana lagi kita bisa mendapatkan sahabat sekaligus cinta yang tulus kalau kita hanya selalu berpikir untuk memilikinya dengan syarat. Jika kalian selalu bertanya kenapa selalu cinta bertepuk sebelah tangan? Sebenarnya bukan cinta bertepuk sebelah tangan, tapi lebih karena masing-masing ingin tetap mempertahankan perasaan indah ini. Dimana meskipun pada akhirnya berpuluh-puluh tahun kemudian mereka bertemu, perasaan itu masih sama. Sahabat yang saling mengasihi, dan mereka adalah orang-orang yang tahu bagaimana menempatkan perasaan, pikiran, dan logika. Dimana masing-masing mereka akan selalu menjaga hati orang-orang yang dicintainya sebaik mungkin.

Note : jangan mudah percaya begitu saja dengan apa yang anda baca sebelum anda menyaksikan sendiri kebenarannya :D apa yang penulis tulis dengan label cerpen menandakan bahwa tulisan tersebut fiksi, meskipun ada beberapa ide cerita berdasarkan pengalaman penulis. Happy Reading ^^

Hari ini adalah ulang tahun Alya. Teman sekelasku di kelas IX SMP ini. Aku sendiri sebenarnya sudah mengagumi Alya 2 tahun lalu. Saat itu, Sasi temanku sejak taman kanak-kanak memperkenalkanku pada Alya. Kebetulan Alya dan Sasi teman baik.
"Aris, kenalin ini Alya. Dia teman sekelas kita juga loh" Sasi tampak sangat gembira memperkenalkan teman barunya
"Alya..." aku yang gugup tidak dapat merespon cepat ucapan Sasi. Alya yang memberikan tangannya terlebih dahulu, dan kusambut dengan gugup.
"Aris..." itulah awal perkenalanku dengan Alya 2 tahun lalu.
Pertemanan Alya dan Sasi sendiri juga karena kebetulan. Mereka sama-sama dihukum oleh kakak kelas karena terlambat masuk hari pertama sekolah. Saat itu Sasi dan Alya diminta meminta tanda tangan, nama, dan alamat semua pengajar di sekolah ini. Sejak saat itu, Sasi dan Alya menjadi teman baik. Mereka selalu duduk satu bangku. Siang itu, Alya membagi-bagikan permen dan coklat ke teman-teman satu kelas. Tradisi yang entah sejak kapan seperti menjadi keharusan bagi anak yang berulang tahun. Seperti biasa, anak laki-laki selalu rakus mengambil permen dan coklat sampai anak perempuan hanya mendapat sedikit bagian.

"Al... permennya masih gak?" Didik yang kulihat sudah mengantongi beberapa permen dan coklat masih saja kurang. Alya tersenyum. Senyum ini yang sering membuatku cemburu, karena Alya jarang tersenyum padaku. Padahal dia anak yang murah senyum terhadap teman-teman dekatnya. Mungkin karena aku memang selalu gugup di depannya sehingga aku jadi jarang menyapa dan bicara. Meskipun aku dekat dengan Sasi, tapi aku tak bisa dekat dengan Alya. Aku merasa tidak percaya diri. Siapa aku? aku hanya anak ingusan yang ganteng gak, cakep gak, kaya gak, pintar juga gak. Berbeda dengan Alya maupun Sasi yang cukup populer di antara teman-teman. Sasi sendiri adalah anak yang ramah, dia tidak pernah membeda-bedakan teman. Hanya Sasi satu-satunya teman perempuanku.
"Permen? masih... mau?" Alya menyodorkan permen ke Didik
"Yang satunya gak ada? yang permen ini ogah gue" Didik menolak
"Yah... abis Dik, tar deh gue beliin kalo masih ada" Alya menjawab. Ya, Alya memang baik.

Jam istirahat kedua, kulihat Alya dan Sasi pergi keluar sekolah. Sepertinya mereka ke swalayan depan sekolah. Mungkin untuk membeli permen. Aku menghabiskan jam istirahat dengan iseng nongkrong depan kelas bareng anak-anak. Bel pelajaran berbunyi, kami masuk kelas. Aku duduk di belakang meja Alya dan Sasi. Sepertinya mereka berdua terlambat masuk kelas. Tepat sebelum guru masuk, kulihat Alya dan Sasi baru masuk kelas sambil tertawa, entah apa yang mereka bicarakan.
"Emang lu beli permen lagi buat apaan Al?" kudengar obrolan Sasi dan Alya yang memang duduk tepat di meja depanku.
"Hehehe... ada deh" Alya hanya terkekeh.
Pelajaran Geografi siang itu terasa lama, karena aku memang tidak begitu menyukai pelajaran ini. Saat bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran, aku menarik nafas lega.
"Dik... nih, permen yang lu minta" Alya menyerahkan permen kepada Didik.
"gue minta dong Al" Fean yang duduk disebelahku nyeletuk
"Sorry Fe, ini buat gue..." Didik mengambil semua permen ditangan Alya. Kulihat Alya hanya tersenyum.
"Lu rakus amat Dik, kan tadi lu dah ambil banyak" Fean protes.
"Lu gue kasih permen ini aja" Didik memberikan permen yang tidak disukainya.

Seperti hari-hari biasa lainnya, aku duduk di belakang Sasi dan Alya. Sebelahku masih Fean, dan meja sebelah Alya juga masih Didik. Kadang aku merasa iri melihat Alya yang sering becanda dengan Didik. Tidak hanya dengan Didik saja, tapi dengan teman-teman cowok lainnya, aku merasa iri. Mereka bisa dengan leluasa dan nyaman becanda dengan Alya. Bukan karena Alya tak pernah mengajakku bicara, tapi karena aku sering kikuk dan gugup jika Alya mengajakku bicara. Berbeda dengan Sasi dimana aku selalu punya obrolan dengannya, bicara dengan Alya semua topik pembicaraanku hilang.
"Al... lu jatuh cinta ya?" Deg! ucapan Sasi kepada Alya membuat dadaku berdetak lebih cepat. Aku mencoba mendengarkan pembicaraan mereka dengan lebih jelas.
"Apaan sih lu Sas? Jatuh cinta sama siapa?" Alya mengelak
"Ooo... jadi bener nih gak sedang fall'nlove ?" Sasi masih terus mendesak dengan gaya khasnya. Alya tampak salah tingkah.
"Ya udah kalo emang gak jatuh cinta, gak perlu salting gitu keleus..." dalam masalah menebak orang dan membuat orang lain nyaman bicara dengannya Sasi memang jagonya. Itulah sebabnya aku bisa nyaman dan cerita apa saja kepada Sasi, kecuali satu tentang Alya. Bahkan Sasi tidak tahu kalau aku diam-diam menyukai Alya. Obrolan mereka terhenti ketika guru matematika melihat ke arah mereka, dan meminta Sasi mengerjakan soal di papan tulis. Sasi beranjak dari kursinya dan dengan santai menyelesaikan soal di depan kelas.
"Sas... Kok lu bisa bilang gue jatuh cinta gimana ceritanya?" setelah Sasi kembali ke tempat duduknya, Alya tampak masih penasaran dengan ucapan Sasi.
"Kalo emang gak jatuh cinta gak usah dibahas..." Sasi seperti sengaja memancing Alya mengakui kalau dia jatuh cinta.
"Kalo gue ngaku, lu mau jujur?" Alya agak terpojok. Aku juga merasa terpojok, antara ingin tahu dan tidak. Tidak karena takut orang itu bukan aku.
"Jadi...." Sasi tampak iseng menggoda Alya
"Iya, iya... gue suka sama seseorang, tapi bukan cinta juga sih... cuma gue ngerasa dia baik, lucu, asyik. Sekedar suka aja" Deg! jawaban Alya membuat tulang-tulangku meleleh seketika. Siapa? Siapa 'dia'?
"Lu kenapa sih Sas? senyum-senyum gitu" Alya melihat Sasi tersenyum seolah dia tahu siapa yang disukai Alya.
"Oooo... sekedar suka,,, I see..." Sasi menimpali, kulihat Alya menimpuk Sasi dengan bukunya pelan sambil cemberut.
"Udah ah...," Alya tampak malu. Aku masih tak karuan mencoba mendinginkan kembali tulang-tulangku agar bisa berdiri tegak. Tunggu... Apakah ini artinya Sasi tahu siapa 'dia' yang dimaksud Alya?

"ehem..." Sasi berdehem kecil pada Alya sambil melirik orang disebelahnya. Oh my God...... aku merasa sudah kalah.
"Apaan sih?" Alya  masih merajuk manja agar Sasi tidak menggodanya lagi.
"Lu suka Didik kan?" Sasi dengan gamblang menyebut nama itu. Tulangku kembali meleleh.
"Ssst..." Alya membekap mulut Sasi, khawatir ada yang mendengarnya. Padahal memang ada yang mendengarnya.
"Lu ngomong apaan sih Sas? Gak mungkinlah..." Alya menghindar. Tulangku sedikit membeku, ada kemungkinan mengeras kembali.
Sasi menatap Alya, merebut buku di tangan Alya dan menunjukkan sampul buku Alya
"Ini apaan coba?" Sasi menunjuk tulisan DDS di sampul Alya.
"Itu... itu kan hanya singkatan..." Alya berkilah
"Singkatan apa? Dan Detective School (manga jepang-pen)?" Sasi tampak mengejek
"I.. iya" Alya menyahut sekenanya.
"Hahahaha.." Sasi tertawa membuat anak-anak melihat ke arahnya, untung saja Sasi bisa mengendalikan diri. Dia menutup mulutnya dan tersenyum kepada guru yang masih melihat ke arahnya.

Setelah Sasi disuruh maju ke depan lagi karena membuat gaduh, aku tahu makna DDS di sampul buku Alya. Diandra Didik Saputra. Mungkin hanya Sasi yang bisa melihat rasa suka Alya pada Didik. Meskipun seluruh kelas, bahkan seluruh sekolah juga tahu bahwa Didik sudah punya seseorang yang spesial yaitu Zeni, aku tak mengerti bagaimana bisa Alya menyukai Didik. Mungkin rasa suka itu tidak pernah memandang siapa, kapan, dan bagaimana. Perasaanku terhadap Alya sendiri juga tak pernah berubah meskipun aku tahu Alya menyukai Didik, dan setelah itu aku juga tahu Alya sempat menyukai orang lain. Aku hanya menunggu waktu yang tepat saja.

Sepuluh tahun kemudian, percaya atau tidak perasaanku terhadap Alya masih sama. Yang berbeda hanyalah orang yang disukai Alya. Aku telah berhasil membekukan kembali tulang-tulangku yang meleleh sepuluh tahun yang lalu.


"Pernahkah kau mencoba menggenggam angin... Aku pernah, dan aku merasa kehilangan angin begitu saja... Saat aku putus asa menggenggam angin, aku sadar bahwa sebenarnya aku telah menggenggamnya sejak lama"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART