HATI SELUAS SAMUDERA #9
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
And God knows That it's hard to find the one
But in time, all the flowers
Yes in time All the flowers turn to face the sun
But in time, all the flowers
Yes in time All the flowers turn to face the sun
James Blunt - Face the Sun
Mengumpulkan potongan kata dan merajutnya menjadi satu kalimat itu tidaklah mudah. Finally, aku akan menulisnya dalam bentuk cerpen. Karena aku lebih mudah merangkai kata per kata. Ini salah satu tulisan yang kujanjikan tentang perjalanan 6 jam di bus dari Jogja-Madiun mudik akhir bulan lalu.
"kosong..." aku terkejut dengan sapaan seorang bapak. Aku menoleh, dan tersenyum. Mengangguk. Bapak itu duduk di sebelahku, sambil mengucap bismillah. Aku kembali menatap ke luar jendela. Aku menyiapkan seluruh mental dan fisik untuk perjalanan ini. Bus antar kota yang akan mengantarku ke tujuan. Semoga aku mengambil banyak pelajaran hari ini.
Di luar, kulihat kondektur bus sibuk membantu para penumpang menata barang-barang di bagasi. Ini bukan bus patas, ini hanya bus ekonomi jurusan Jogja-Surabaya. Seperti hari libur lainnya, bus ini selalu penuh. Kudengar satu dua penumpang bernafas lega karena mendapat tempat duduk, beberapa berceloteh lega karena sudah menunggu selama 2jam bus selalu penuh akhirnya mendapatkan bus untuk pulang juga. Aku sendiri sudah duduk di kursi ini sejak dari terminal Giwangan Yogyakarta.
"Kiri tiga, geser kasih tempat buat yang lain..."kondektur bus seperti biasa berteriak-teriak mengatur tempat duduk, mencoba memberikan pelayanan terbaiknya. Aku masih menatap ke luar jendela. Tidak begitu peduli dengan sekitarku.
"Bu... geser ya bu, biar yang lain juga dapat tempat duduk"kondektur kembali berteriak.
"Aku bayar tiga mas"kudengar suara perempuan paruh baya menjawab.
"ada orangnya?"kondektur kembali bertanya. "Ada..."Ibu itu menjawab sekenanya. "Orangnya mana?" kondektur tampak tak puas. "Aku bayar tiga mas, aku capek, perlu istirahat" sang ibu bersikeras. Aku tak tertarik untuk menengok ke belakang. Aku hanya mendengar suara gaduh mereka. "bukan masalah bayarnya bu, semua juga ingin pulang. Biar yang lain juga bisa pulang" kondektur tampak mulai emosi. "Aku ini pelanggan mas, biasanya aku naik kelas eksekutif bus ini. Aku bayar tiga deh, bayar enam sekalian juga gak masalah" sang ibu mulai ngotot. Aku masih tak bergeming, melihat suasana di luar bus. Banyak penumpang yang masih menunggu bus, entah kemana tujuan mereka. "Kasian yang lain bu, bukan masalah uangnya..." kondektur mulai panas "kan bus yang lain juga masih banyak mas, suruh naik bus lain saja" sang ibu tak mau mengalah. Kondektur tampak ingin menyuruh sang ibu turun dan mencari bus lain saja, tapi sebelum terucap rekannya melarangnya. Bapak yang duduk di sebelahku tersenyum, berdiri dan meredamkan amarah kondektur. "sabar mas... gak apa-apa biar ibu itu istirahat" kondektur akhirnya mengalah. Penumpang lain hanya melihat dengan pikiran masing-masing. Tak lama bus berjalan, banyak penumpang yang berdiri. Seorang ibu tampak kepayahan berdiri di dalam bus yang sesak. "turun di mana bu?" bapak sebelahku bertanya pada ibu itu. "Sragen pak" ibu itu menjawab sambil berpegangan susah payah pada bahu kursi. "silahkan duduk..." bapak sebelahku mempersilahkan, memberikan tempat duduknya. Aku melihat ke arahnya, bapak itu tersenyum, aku tersenyum lalu memalingkan muka ke luar jendela. Hatiku mengaguminya. Bapak baik hati, aku memanggilnya begitu. Satu jam kemudian, ibu yang duduk di sebelahku turun, dan tempat duduk di sebelahku kembali diduduki bapak baik hati itu.
"mau kemana mbak?" bapak itu kembali menyapaku. Aku menoleh "Madiun, Bapak?" aku basa-basi membalas. "Surabaya..." aku mengangguk dan kembali melihat ke luar jendela. Perutku mulai lapar. Melihat bakso di pinggir jalan, perutku berontak. Bersabarlah perut...
tugu brosot, galur, kulon progo |
Beberapa penjual masuk menawarkan dagangannya. Aku membeli tahu pong seharga 2rb, lalu kusimpan. Berikutnya ada pedagang yang masuk lagi, aku membeli bakpia seharga 2rb juga, lalu kusimpan. Tak lama pengamen masuk, menyanyi satu dua lagu menyodorkan tempat permen kosong, aku mengambil tahu pong yang kubeli tadi dan memasukkannya, pengamen itu tersenyum mengucap terima kasih. Bapak baik hati di sampingku melihat ke arahku "kenapa dikasih tahu pong mbak?" aku menatap bapak baik hati bengong, agak terkejut dengan pertanyaan beliau. "hah?" sifat telmi-ku (telat mikir-pen) kambuh. Bapak baik hati merasa tidak enak, otakku mencoba berpikir cepat "ooooh... hehehe, iya pak" aku menjawab sekenanya. Bapak baik hati masih mencari jawaban yang lebih detail. "saya hanya mengikuti kebiasaan ayah saya pak" aku menjawab lebih detail "jadi ayah saya dulu setiap bepergian naik bus, pulang ke rumah kadang bawa makanan kecil yang dibeli di bus. Kata ayah saya, daripada memberi kepada orang yang hanya bisa minta-minta dan tidak mau berusaha keras, lebih baik membantu orang yang benar-benar berusaha, misalnya pedagang asongan itu. Sekarang ini, pengamen, pengemis semakin banyak, padahal mereka masih muda dan memiliki fisik yang sehat. Kenapa mereka tidak mau berusaha mencari makan yang lebih berkah. Karena kita lebih suka memberi pengamen atau pengemis. Mereka duduk dan menengadahkan tangan sudah dapat uang, sedangkan orang-orang yang ingin mencari rejeki dengan jalan bekerja lebih susah dapat uang. Pedagang asongan menjajakan makanan, koran, dan barang dagangan lain jarang ada yang membeli. Padahal mereka tidak meminta, jadi saya pikir saya hanya ingin membantu pedagang itu, membeli barang mereka seharga 2ribu rupiah bukankah sama dengan kita memberikan uang receh kita kepada pengamen atau pengemis. Selain itu, barang yang saya beli juga memiliki manfaat karena bisa saya berikan pada orang lain. Pengamen senang dapat tahu pong gratis sebagai imbalan dia bernyanyi, dan pedagang tahu pong juga senang mendapat uang hasil dia jualan tahu. Saya juga senang karena uang 2ribu yang saya alokasikan membawa 2 manfaat sekaligus" aku tersenyum malu, sungguh tak ada keinginan menggurui bapak baik hati. Aku tahu, bapak baik hati di sampingku memiliki ilmu yang lebih tinggi dari diriku. Bapak baik hati di sampingku tertawa, dia tampak bahagia. "ayah mbak, pasti sangat baik" aku mengaminkan dalam hati, semoga ini salah satu ilmu bermanfaat yang diajarkan ayahku dan menjadi pahala tidak terputus untuk ayah.
halaman masjid agung madiun, barat alun-alun madiun |
"Madiun... Madiun... Persiapan!!!" suara kondektur tak pernah lelah mengingatkan. Aku melihat ke luar jendela, ternyata sudah memasuki ringroad Madiun. Perjalanan 6jam yang tidak terasa. Aku bersiap. "sampai tujuan mbak?" bapak baik hati tersenyum "iya pak, saya duluan..." aku berpamitan, bapak baik hati berdiri bergeser memberiku jalan keluar. "hati-hati mbak, assalamu'alaikum" lagi-lagi aku dibuatnya kagum dengan memberi salam, "ya pak, sama-sama. Wa'alaikumsalam" aku bergegas ke dekat pintu keluar. Menunggu dipersilahkan turun. Goncangan bus membuat badanku sedikit terhuyung, perutku yang tadi sempat lupa minta diisi kembali memberi sinyal. Aku melangkahkan kaki kiriku keluar bus, menjejakkan kaki ke tanah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt akhirnya aku kembali ke kota gadis ini. Aku menghirup kuat-kuat udara malam yang dingin. Sudah 4hari aku meninggalkan kota ini, perjalanan 6jam seperti perjalanan panjang dalam hidupku. Selalu ada hal yang bisa kita pelajari disetiap perjalanan. Kesabaran, keikhlasan, rasa syukur akan membuat perjalanan ini begitu menyenangkan, dan sebaliknya rasa iri, egois, kesombongan akan membuat perjalanan ini begitu berat dan panjang.
Udara malam ini semilir menerpa wajahku, menampar lembut hatiku mengingatkanku kembali, betapa aku masih harus belajar dan belajar....
Udara malam ini semilir menerpa wajahku, menampar lembut hatiku mengingatkanku kembali, betapa aku masih harus belajar dan belajar....
Komentar
Posting Komentar