DOMINO EFFECT
Madiun,
![]() |
meet up w/ alumni Unmer Manajemen'10 |
Pandangan mata selalu menipu
Pandangan akal selalu tersalah
Pandangan nafsu selalu melulu
Pandangan hati itu yang hakiki
Kalau hati itu bersih
Pandangan akal selalu tersalah
Pandangan nafsu selalu melulu
Pandangan hati itu yang hakiki
Kalau hati itu bersih
pandangan mata-snada
(Part. 2)
sebelumnya part. 1
Aku
lega, pertemuanku berjalan lancar. Klien juga tidak marah saat aku terlambat
beberapa menit karena macet. Aku segera melajukan Lexus IS menuju kantor. Masih ada hal yang harus kuselesaikan di
kantor. Sesampainya di kantor, kembali Allah swt membuktikan kuasa-Nya.
“Di...
dah denger kabar belom?”
Fanya teman kuliahku dulu yang juga bekerja di perusahaan ini menyapaku saat
aku baru masuk ruanganku.
“kabar
apa Fan?” aku membetulkan posisi dudukku. Fanya mengambil kursi depan meja
kerjaku.
“Pak
Fadan meninggal dunia” deg. Apa yang tengah Engkau rencanakan ya Rabb.
“innalillahi wa innaillaihirojiun. Kenapa
Fan?” aku masih shock.
“ceritanya
tar aja di jalan. Buruan gih, ini orang-orang mau ke rumah
beliau” Fanya memaksaku beranjak dari kursi dan mengikutinya keluar ruangan.
Aku
masih tidak habis pikir dengan apa yang barusan kudengar. Ada perasaan yang tak
bisa kuungkapkan. Aku tak tahu, bagaimana dan seperti apa perasaan ini. Menurut
cerita Fanya, Pak Fadan meninggal karena kecelakaan dengan truk tadi siang. Dan
yang lebih mengagetkanku adalah, Pak Fadan tertabrak truk karena menghindari
kejaran massa yang hendak mengeroyoknya. Ya, Pak Fadan ketahuan menjambret
kalung. Hari ini, Pak Fadan memang ijin tidak masuk kerja. Beliau bilang ada
urusan keluarga. Banyak hal yang membuatku tak mengerti, banyak hal yang
membuatku harus mengkaji ulang niatku. Kenapa? Kenapa? Dan Kenapa?
Rumah
itu tampak sangat jauh berbeda dari rumahku. Sebuah bangunan yang terbuat dari
tembok dan sebagian lagi dari kayu. Atapnya pendek, pintunya sudah rusak.
Dibandingkan dengan rumahku sangat jauh berbeda. Bahkan rumah Mak Sri,
pembantuku di rumah jauh lebih baik dari rumah ini. Aku ragu memasuki rumah
ini, pengap. Aromanya tidak enak, tapi aku memaksakan diri untuk masuk. Seorang
perempuan gempal tampak tersedu-sedu. Empat orang anaknya juga menangis
sesenggukan. Itulah keluarga Pak Fadan.
“Ibu...
kami turut berdukacita...”kata-kataku tertahan. Bu Fadan, dengan tubuh gempalnya
mengangguk sambil menahan tangisnya. Aku berusaha menenangkannya. Aku tidak
lama di rumah Pak Fadan, tapi di sana ada banyak jawaban yang kutemukan. Sore
itu, aku pulang dengan perasaan bersalah. Aku tergugu di mobil. Konsentrasiku
pecah. Ya Rabb.... maafkan hamba....
Sesampainya
di rumah aku langsung masuk kamar. Ibuku yang melihat mataku sembab mencoba
menghampiriku. “Di... ada apa sayang?” suara lembutnya terdengar dari balik
pintu kamarku. Aku mengusap mata sembabku, membuka pintu untuk Ibu. Ibu duduk
di samping meja kerjaku.
“ada
apa nak? Ada masalah?” Mata teduh ibu menenangkanku. Aku menghambur
kepelukannya. Dan menangis sebisaku, meluapkan apa yang ingin kukeluarkan. Ibu
hanya membelai rambutku pelan. “bu... apa yang harus kulakukan?” aku mulai
mengungkapkan kegelisahanku pada Ibu. Ya, aku tak mengerti. Benar-benar tak
mengerti. Pak Fadan nekat menjambret demi anaknya, demi motor idaman anaknya.
Uang sepuluh juta yang kuberikan tidak cukup untuk membelikan motor impian
anaknya. Akhirnya Pak Fadan mencari jalan pintas. Menurut cerita Bu Fadan, Pak
Fadan sudah mencoba mencari pinjaman kemana-mana tapi berakhir penolakan. Sedangkan
anaknya terus merengek meminta motor. Kalau tidak baru tidak mau ke sekolah.
Setiap hari merengek, dan Pak Fadan tidak bisa menolaknya. Aku tidak
membenarkan cara Pak Fadan memanjakan anaknya. Tapi aku juga menyesalkan
perbuatanku. Ya... seandainya, seandainya aku memberikan pinjaman uang dua
puluh juta kepada Pak Fadan, mungkin berbeda akhir ceritanya. Dua puluh juta,
uang yang tidak seberapa buatku, tapi sebenarnya bisa mencegah orang lain
berbuat kejahatan. Pemikiranku waktu itu, yang bermaksud baik ingin membantu
Pak Fadan mendidik anak-anaknya ternyata keliru. Aku tak bisa menerapkan apa
yang ada dalam pemikiranku kepada orang lain. Menyalahkan Pak Fadan dan Bu
Fadan atas didikan mereka terhadap anaknya? Menyalahkan anak-anak mereka yang
tidak mau memahami kondisi orang tuanya? Menyalahkan diriku sendiri yang telah
diberi kesempatan menolong Pak Fadan tapi malah menyia-nyiakannya? Aku merasa
lelah memikirkannya, benar-benar buntu, tidak ada jawaban.
![]() |
pic from www.youtube.com |
“Bu...
apa aku ikut bersalah?” aku masih menyandarkan kepalaku ke pangkuan Ibu.
Nyaman. Aku suka melakukannya, pangkuan Ibu adalah tempat ternyaman bagi
anak-anaknya. Ibu dengan lembut membelai rambutku, membuatku semakin nyaman.
“Semua sudah ada yang mengatur nak... Tidak perlu memikirkannya terlalu dalam.
Seandainya.... ah, kata seandainya hanya akan membuat kita tidak bisa menerima
kenyataan dan maju ke depan” aku menyimak ibu dengan seksama. Setiap tutur
katanya seperti sabda bagiku. “seandainya Pak Fadan mendidik anaknya lebih
baik, seandainya anaknya lebih memahami kondisi orang tuanya, seandainya kamu
memberikan pinjaman dua puluh juta.... seandainya... seandainya semua tidak
pernah lahir ke dunia...” aku mencerna satu per satu kalimat Ibu. “Allah swt
itu Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Mengetahui... tak ada satupun kejadian
yang luput dari-Nya. Kenapa kita harus berandai-andai jika memang semua sudah
terjadi. Apa yang telah terjadi, adalah cara Allah swt mendidik kita
sayang....” perlahan aku mulai memahami maksud Ibu. “Bukankah kejadian ini
kembali mengingatkan kita... betapa kematian itu sangat dekat... kapanpun,
dimanapun, dalam keadaan apapun... kita bisa kembali pada-Nya. Agar kita tak
menyesal, sebelum kita terlambat menyadari, bukankah kita sudah diberi petunjuk
bagaimana kita harus hidup. Setiap detik yang kita lewati, jangan pernah
meninggalkan jalan yang Allah swt berikan pada kita Nak... jangan pernah meninggalkan-Nya
sedetikpun.... berpeganglah teguh pada Tuhanmu agar ketika kematian itu
mendatangi kita, kita dalam keadaan sebaik-baik hamba-Nya” entah kenapa, air
mataku kembali mengalir. Bukan karena penyesalan atas meninggalnya Pak Fadan,
tetapi karena aku merasa akhir-akhir ini aku sudah melupakan nasihat Ibu. Aku
mulai pelan-pelan meninggalkan Tuhanku.
“Nak,...
berbuat baik itu tidak perlu berpikir dua kali. Niatkan setiap langkahmu karena
Allah swt. Berjalanlah di atas bumi ini dengan keyakinan pada-Nya. Hilangkan
semua prasangka burukmu pada orang lain ketika kau ingin berbuat baik. Serahkan
semua urusan pada-Nya. Biarkan Allah swt saja yang memutuskan pahala atau dosa.
Kerjakan apa yang menjadi kewajibanmu, karena kita tidak pernah dibebani kesalahan
orang lain begitu juga sebaliknya, orang lain tidak pernah dibebani kesalahan
kita. Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Pak Fadan
menjambret adalah tanggung jawab Pak Fadan, biar Allah swt yang menentukan baik
buruknya. Kamu meminjamkan uang atau tidak kepada Pak Fadan adalah tanggung
jawab kamu, biar Allah swt yang menilai baik buruknya. Demikian juga anak Pak
Fadan yang tidak mau memahami kondisi orang tuanya adalah tanggung jawab anak
Pak Fadan, biar Allah swt juga yang menilainya. Berbuat baiklah tanpa
berprasangka pada orang lain, ketika kita diberi kesempatan berbuat baik jangan
pernah kita sia-siakan hanya karena prasangka buruk kita” Ibu lembut menyentuh
pipiku. Aku menatap ibu dengan penuh kelegaan. Ibu benar. Kita tidak pernah
dibebani atas perbuatan orang lain.
“Di...
Allah swt itu Maha Adil, sekecil apapun perbuatan kita tidak akan pernah
sia-sia. Semua ada balasannya. Belajarlah untuk lebih peduli pada orang-orang
di sekitarmu. Sapaan kecil dari kita, bisa menjadi sesuatu yang besar untuk
mereka yang kita sapa. Percayalah bahwa kebaikan akan datang kepada kita dengan
sendirinya ketika kita berbuat baik. Berbuat baiklah selama engkau bisa, jangan
menunda” aku menatap senyum Ibu yang begitu menyenangkan. Kugenggam kedua
tangan lembutnya, kucium penuh cinta dan rasa hormatku pada beliau. Aku akan
selalu mengingat nasihatmu Ibu... kupeluk erat ibu yang telah merawatku selama
25 tahun ini. Tangan yang tak pernah lelah menuntunku, tangan yang selalu
menengadah berdoa untukku kemana lagi akan kutemui tangan semulia ini. Aku
merasa lega, ada beban berat yang terlepas seketika. Aku harus kembali belajar,
belajar peduli pada orang lain tanpa berprasangka. Mungkin ini cara Tuhan
menegurku, bahwa sekecil apapun hal yang kita lakukan bisa berdampak menjadi
hal besar untuk orang lain bahkan untuk diriku sendiri. Bismillahirrahmanirrahiim....
Wahai hati yang tak pernah kumengerti
Ijinkan aku untuk memahamimu walau hanya sekali
Setelah itu aku tak akan pernah mempertanyakanmu lagi
Komentar
Posting Komentar