RAHASIA HATI #2



pic from www.kompasiana.com

Madiun,
Aku melihat ke langit... Berhitung satu dua tiga bintang yang berkerlip...
Ada begitu banyak... Aku tak mungkin mampu menghitungnya...
Semua tampak sama di mataku... Indah, berpijar...

‘ping’ Aku membuka handphoneku. Ada banyak pesan di grup sosial media. Akhir-akhir ini sedang jadi trending topik. Ya, apalagi, kalo bukan tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Banyak pendapat dan opini. Ada pro-kontra tentang mereka. Di televisi, di sosial media, di surat kabar, bahkan diobrolan ibu-ibu yang sedang belanja di tukang sayur banyak yang membahas masalah ini. Belum kasus-kasus selebriti yang tiba-tiba mencuat yang tidak jauh dari bahasan ini. Aku tak mengerti, dan tidak paham. Sungguh, aku hanya orang awam yang jauh dari kata seorang ahli kejiwaan, ahli agama, ahli psikolog, maupun ahli kesehatan. Apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka diskusikan, atau apa yang mereka perdebatkan, aku tidak memahaminya. Aku hanya tahu, bahwa aku tidak membenci orang LGBT, tapi aku tidak mendukung mereka. Aku sendiri yakin, baik yang pro maupun kontra sama-sama tidak saling memahami satu sama lain. Entahlah...

Siang ini, aku menyempatkan pergi ke sebuah pusat perbelanjaan untuk mencari hadiah atas kelahiran putra teman sekantorku. Saat aku hendak keluar dari parkir, aku melihat banyak orang berkerumun. Entah apa yang mereka ributkan. Teriakan ‘bakar, bakar, bakar’ terdengar menyeramkan di telingaku. Aku mendekati kerumunan itu, aku tak pernah melakukannya sebelumnya tapi aku ingin tahu ada apa. Beberapa orang tampak sibuk memukuli dan menghajar dua orang yang meringkuk saling melindungi satu sama lain. Aku mencoba masuk ke kerumunan. “Berhenti... Berhenti...!!!” belum sempat aku tahu apa yang terjadi, seseorang berteriak lantang meminta orang-orang menghentikan tindakan mereka. Beberapa perempuan muda, ibu-ibu, dan anak-anak tampak ketakutan melihat kejadian di basement itu. Beberapa memilih menjauh, beberapa memilih hanya menonton dan bertanya-tanya. Seorang laki-laki usia 40tahunan tampak berusaha keras menghentikan orang-orang yang saling menendang dan memukul. Aku sempat merasakan tubuhku terdorong oleh seseorang. Mereka sangat kuat, bahkan tidak peduli orang yang mereka pukul sudah sangat kesakitan. “STOP... Hentikan...!!!” laki-laki itu berteriak semakin keras, menjauhkan orang-orang dari dua sosok yang meringkuk saling melindungi. Aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Menjauh dari mereka. Seorang laki-laki lain yang ikut memukul tampak ingin memukul sang pelerai, aku refleks mencegahnya. Menarik bajunya dari belakang, dia menatapku marah. Aku takut, tapi kubilang “tolong... berhenti...” mataku berkaca-kaca karena ketakutan. Laki-laki itu terdiam, mungkin dia tidak tega jika hendak memukul perempuan. “Hentikan semuanya... Hentikan...!!! Kalian bisa dituntut karena penganiayaan bahkan pembunuhan” Laki-laki yang berusaha melerai mereka berteriak lebih keras. Seketika orang-orang berhenti, bukan karena omongan laki-laki tersebut, tapi karena mereka mendengar suara sirine polisi. Entah siapa yang memanggil polisi, atau hanya ada orang yang sengaja membunyikan sirine agar mereka berhenti. Seketika mereka semua menghentikan tindakan mereka, menjauh satu per satu dari korban. Aku melihat darah di seluruh badan dua orang yang tengah meringkuk ketakutan. Aku bergidik, apa yang harus kulakukan? Orang-orang mulai meludah dan meninggalkan dua orang itu sambil memaki atas perbuatan tidak baik dua orang yang dipukuli. Orang-orang yang berkerumun dari jauh masih saling berbisik, ada yang mulai meninggalkan tempat itu, ada yang masih menatap penuh ketakutan dan rasa kasihan. Laki-laki yang berusaha melerai mendekati dua orang yang sudah babak belur. Aku berdiri lebih dekat.

“Kalian tidak apa-apa” laki-laki pelerai mencoba melihat keadaan dua orang yang dipukuli. Jelas sekali mereka kesakitan, jelas sekali bahwa mereka tidak baik-baik saja. Seorang yang dipukuli berusaha bangun, lalu membantu temannya bangun. Mereka saling menatap, ada kesedihan yang tak kumengerti, ada rasa benci yang tak kupahami. Mereka menatap laki-laki pelerai dan mengangguk lemah. Berusaha berdiri saling menopang satu sama lain. Laki-laki pelerai hanya terdiam, ada banyak hal yang dia pikirkan namun tak tersampaikan. Melihat dua orang yang babak belur saling berpegangan membantu satu sama lain untuk bisa berjalan. Menahan rasa sakit yang tak bisa dirasakan lagi. “tunggu... kalian mau kemana?” entah kenapa aku tiba-tiba mengatakan itu. Aku masih melawan ketakutanku sendiri. Laki-laki pelerai melihat ke arahku, menyadari bahwa hanya tinggal aku dan dia yang berada di tempat itu. Dua orang yang berjalan tertatih-tatih tak sedikitpun melihat ke arahku, mereka terus pergi menjauh dari tempat itu. Rasa sakit itu, pasti amat dalam. “Jangan pergi dulu... aku akan ke apotik membeli obat untuk luka kalian” aku berbalik setengah berlari tak peduli apakah mereka akan mendengarkanku atau tidak. Laki-laki pelerai mencegahku, “Biarkan mereka pergi...” aku melihat laki-laki pelerai tersenyum “tapi....” aku tak mengerti.

Dua orang babak belur itu akhirnya menatap ke arahku. Melihatku yang tampak panik dan ketakutan. Melihat laki-laki pelerai yang tenang. “terima kasih... kami baik-baik saja” salah satu dari mereka akhirnya bicara. Aku lebih terkendali. “tapi kalian mau kemana? Dengan luka seperti itu...” aku merinding melihat luka mereka. Itu pasti sangat sakit. Mereka hanya tersenyum, lalu meninggalkanku dan laki-laki pelerai. Aku hanya melihat mereka pergi. Laki-laki pelerai masih berdiri di sampingku. “Kita juga harus pergi... masih banyak yang harus kita lakukan bukan?” laki-laki itu meninggalkanku. Berjalan menjauh dariku. “Apakah Allah swt akan memaafkan kita semua...” aku lirih berbisik. Ada banyak yang ingin kutahu. Tapi aku tak tahu harus bertanya pada siapa. Laki-laki pelerai berhenti, menoleh ke arahku yang masih mematung melihat kepergian dua orang yang babak belur. “Mudah-mudahan saja....” laki-laki pelerai meninggalkanku. Aku melangkah ragu meninggalkan tempat parkir itu. Ada hal yang mengganjal. Aku masih ingin bicara dengan mereka. Aku masih ingin bertanya banyak hal.

Aku meninggalkan pusat perbelanjaan itu dengan hati penuh pertanyaan. Aku ingat beberapa waktu lalu, temanku bercerita dia mencintai laki-laki beristri. Dan laki-laki itu juga mencintainya. Mereka saling mencintai, tapi temenku memilih untuk menekan syahwat dan nafsunya. Memilih menyingkir dari kehidupan rumah tangga laki-laki idamannya. Dia memilih tidak meneruskan rasa cintanya, memendam dalam-dalam semua perasaannya. Bukankah itu sangat indah? Kenapa banyak orang yang mengkambinghitamkan cinta sebagai pembenar ketidakmampuan mereka. Apa yang akan dua orang itu lakukan? Apakah mereka akan mengerti? Atau hanya akan menyalahkan? Ketidaksempurnaan kita, adalah cara Allah swt menguji kita, melatih kita, mendidik kita menjadi orang yang sempurna. Jika kita bisa melalui ketidaksempurnaan kita dengan baik, bukankah janji Allah swt itu pasti. Tiba-tiba aku takut, bagaimana jika Allah swt benar-benar marah. Bagaimana jika Allah swt mewujudkan apa yang mereka minta. Apakah kita masih memiliki waktu dan kesempatan untuk menyesal?

Aku terus menyusuri jalan dengan kegamangan. Kulihat ada wanita bercadar yang naik motor. Berbelok, dengan suara klakson kendaraaan di belakangnya yang marah-marah “woi.. dasar teroris tak berpendidikan” aku tercengang. Ya Rabb, bahkan orang yang tengah berusaha menjalankan perintah-Mu dengan benar saja sering mendapat perlakuan tidak baik. Bukankah hidup ini memang pilihan. Apapun yang kita perbuat selalu ada yang suka dan tidak. Bukan ajaran-Mu yang keliru, tapi kamilah manusia yang merasa benar dan sombong dengan ilmu yang masih sangat jauh dari ilmu-Mu. Kamilah manusia yang selalu merasa Engkau tidak adil, kamilah manusia yang hanya bisa menyalahkan dan minta dimengerti tanpa mau mengerti maksud-Mu. Wanita itu kaget, hampir jatuh tapi terus melajukan motornya. Seorang pengendara yang lain di belakangnya mengetuk kaca mobil orang yang meneriaki wanita itu. “Mas, yang tidak berpendidikan itu omongan anda” sembari terlihat marah. Aku tersenyum. Lihatlah, bukankah di dunia ini juga banyak orang baik terhadap kita bahkan orang yang tidak kita kenal sekalipun. Seperti laki-laki pelerai yang kutemui di pusat perbelanjaan tadi, atau seperti laki-laki yang baru saja kulihat. Apa yang membuat kita merasa paling teraniaya jika di luar sana ketika kita mau membuka mata hati kita banyak orang yang juga memendam rasa sakit yang luar biasa. Jika mereka bisa melakukannya, kenapa kita tidak? Tak pernah ada yang tahu rahasia hati masing-masing orang, karena kita hanya melihat mereka tanpa ikut merasakan. Lalu, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?


Kutemukan satu bintang yang berpijar sempurna...
Indah... sangat indah,,,
Kurasa, bukan karena dia sempurna... 
Tapi karena bintang-bintang di sekitarnya membuatnya tampak sempurna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART