DEANTA (end)
![]() |
baluran by Isnanto |
Aku duduk di atas kursi bambu yang dibuat oleh Kang Yopi. Dinginnya udara malam ini menembus ke dalam pori-poriku menggelitiki semua saraf-sarafku. Kutatap langit, bintang enggan muncul setelah hujan sore tadi, gelap gulita. Suara jangkrik dan binatang malam bersahut-sahutan. Sesekali nyamuk ikut menemaniku. Aku tak tahu perasaan ini, sepi, tapi aku tak pernah takut kesepian disini. Inilah rumah. "nduk, ndak masuk? ini dah malam ra elok cah wedok..." suara Ibu dari dalam rumah memanggilku. "Sebentar lagi bu..." aku masih ingin menikmati rasa sepi ini. Aku menyukainya. Tenang.
"Sepi yo..." kang Yopi tiba-tiba saja duduk di sampingku. Aku menoleh, kaget, khayalanku hilang. "eh?" aku bengong melihat kang Yopi. "Ngalamun maneh?" kang Yopi menatapku, aku tersenyum. "Iyo kang... Sepi..." kutimpali sekenaku. "Kota piye nduk? isih rame?" kang Yopi memutuskan menemaniku duduk di depan rumah. "Masih. Ramai banget malahan. Dan nggak akan pernah sepi Kang." aku mengayun-ayunkan kedua kakiku pelan seperti anak kecil. Bersama Kang Yopi selalu membuatku merasa menjadi anak kecil, merasa terlindungi. "Temenmu banyak di sana?" obrolan ringan, tapi aku tahu itu adalah bentuk perhatian Kang Yopi padaku. Aku tidak langsung menjawab. Aku mengingat satu per satu rekan kerjaku, juga teman hangout yang tidak satu tempat kerja. Mereka memiliki karakter masing-masing. Di mataku kehidupan di kota tak jauh berbeda dengan di kampung. Meskipun kata orang di kota banyak orang yang memilih bersikap cuek, namun kenyataannya tidak sedikit yang memilih untuk peduli. Membicarakan aib orang lain, baik di kota maupun di kampung masih sangat susah dihindari. Terkadang bermuka manis di depan kita, dan menjatuhkan di belakang kita juga bisa kutemui di kota maupun di desa. Siapa bilang hidup di kota selalu identik dengan hedonisme, bermewah-mewahan, dan juga dunia malam, banyak juga orang yang setiap mendengar adzan langsung bergegas ke masjid, menghentikan aktifitasnya, banyak juga yang setiap akhir pekan menghabiskan waktu di panti asuhan atau di jalanan untuk berbagi, bahkan tidak sedikit orang yang mau membantu tanpa imbalan saat kita memerlukan bantuan. Kota tidaklah seburuk yang dibayangkan. "De.." kang Yopi menatapku yang diam saja. "Eh?" blank yang kedua. Kang Yopi menatapku sedikit heran. Aku nyengir. "eh, iya kang... aku punya banyak teman di sana. Mereka semua baik. Selalu peduli padaku, menjagaku seperti kakang dan Ibu."
Kang Yopi menepuk kepalaku pelan. Aku kembali merasa menjadi anak usia sekolah dasar. Tertunduk. Entah kenapa, diam-diam aku tak mampu menahan air mataku. Kuusap pelan air mataku, agar kang Yopi tidak menyadarinya. Bagaimana bisa, selama ini aku mencari jawaban yang sebenarnya ada di depan mataku. Bagaimana bisa, aku tak menemukan jawaban itu dan menyalahkan sekitarku atas ketidakmampuanku. Bukankah semua jawaban ada di depan mataku. Sangat dekat sekali. Selama ini, aku hanya tidak mau membuka mata dan menerima bahwa sebenarnya pertanyaanku adalah hal yang sepele. Aku terlalu berlarut dengan kesalahanku dan menganggap semua menjadi begitu sulit. Bukankah kita yang bertanggung jawab atas kehidupan kita sendiri, kita memilih dan kita yang menerima resikonya. Selesai.
suncity dari jendela tong tji |
Kang Yopi melepaskan jemarinya dari rambutku. "Kakang, sangat bahagia dan bangga melihatmu De... Sungguh kakang sangat bangga padamu. Tidak peduli apa kata orang di luar sana tentang kamu, bagi kakang, kamu selalu mampu membuat kakang iri tapi tak pernah mampu membuat kakang membencimu. Deanta, adik kesayangan kang Yopi. Sampai kapanpun, kakang akan selalu bahagia dan bangga melihatmu." Aku menatap kang Yopi dalam remang lampu 5 watt yang dipasang di ujung pojok bangunan sederhana yang kusebut rumah ini. Tidak begitu jelas, tapi aku tahu kang Yopi tidak berbohong. "Dea... Dea pasti akan mengajak kakang melihat kota, kalau kang Yopi mau, kang Yopi dan Ibu juga mbak Mirna bisa tinggal di kota. Dan jika kang Yopi merindukan suasana sepi ini, kakang bisa pulang kembali ke sini" aku berkata lirih, tapi hatiku tidak selirih suaraku, aku tahu, hatiku telah menemukan jawaban yang dicarinya. Kang Yopi tertawa kecil. "Kakang tidak setangguh kamu nduk...". Aku tersenyum. "Masuk De... sudah malam" Kang Yopi beranjak, membuatku mengikutinya. Menjejakkan kaki ke dalam rumah. Tempat kita mengukir mimpi tanpa pernah takut jika tidak tercapai. Tempat kita menjejakkan kaki dan belajar untuk bisa terbang tinggi meski tidak memiliki sayap tanpa pernah takut lupa arah kembali. Aku telah pulang ke rumah, menjejakkan kakiku kembali dan menata semua mimpi-mimpi. Bahagia itu sederhana. Sesederhana bangunan yang kusebut rumah. Sesederhana orang-orang yang tinggal di dalamnya. Sesederhana mimpiku, sesederhana Kang Yopi dan Ibu. Selesai.
*Mungkin sedikit terburu-buru endingnya.
Maklum, sudah mentok sekali. Tulisan lama yang lupa arahnya ^_^
Happy Reading...
*Mungkin sedikit terburu-buru endingnya.
Maklum, sudah mentok sekali. Tulisan lama yang lupa arahnya ^_^
Happy Reading...
Komentar
Posting Komentar