LOTEK DAN IBU
lotek |
Menjelang pulang kantor...
Karena kalau tidak kutulis, hanya akan hilang bersama cerita lainnya...
Benar jika kita sering lupa bersyukur sebelum kita kehilangan. Yups, lotek. Tahu apa itu lotek? Lotek adalah salah satu makanan yang mudah dijumpai ketika kalian ke Yogyakarta, termasuk di kampung halamanku, Kulon Progo. Lotek, makanan sehat yang dibuat dengan cara sederhana. Sayuran yang direbus/dikukus, biasanya berupa bayam, kacang panjang, kol, atau sayuran lain sesuai selera dengan bumbu yang dibuat dari kacang tanah goreng, bawang putih, garam, sedikit kencur, dan gula merah diuleg bersama ditambah sedikit air. Bisa ditambahkan lontong/nasi jika mau. Sederhana sekali, tetapi rasanya selalu membuatku kangen. Dulu, aku tidak begitu suka lotek. Tentu saja karena bagiku tak ada yang istimewa dari lotek. Menjadi sangat berbeda ketika bertahun-tahun tidak makan lotek, berada di tanah orang, mencari makanan bernama lotek dan tidak menemukannya, akhirnya setiap pulang kampung selalu kurang lengkap jika tidak makan lotek.
Baiklah, libur Idul Adha kemarin alhamdulillah bisa mudik, dan juga bisa makan lotek. Biasanya aku membeli lotek di Jl. Daendels dekat Pasar Kliwon, Kranggan, Galur, Kulon Progo. Harga lotek ini sangat terjangkau Rp5.000,- saja, jika ditambah lontong menjadi Rp6.000,-. Murah, sehat, dan nikmat. Ada yang menarik ketika aku membeli lotek ini, kebetulan penjual loteknya seorang ibu yang kutaksir seusia ibuku. Sang ibu bercerita sembari menguleg bumbu di ulegan yang cukup besar.
"tangan (kanan) saya terkena air panas tadi pagi mbak, makanya agak sakit" sang ibu mulai bercerita, tentu saja dengan bahasa jawa krama, aku lupa tepat dialognya, tapi kurang lebih seperti itu maksudnya. "kok saget buk..." aku mencoba menanggapi yang artinya 'kok bisa bu...'. "Saya itu kalau kerja suka terburu-buru mbak, apalagi pagi-pagi jam 4 pagi, dan lampu dapur mati, jadi gak begitu kelihatan" sang ibu masih terus menguleg bumbu, aku melihat punggung beliau yang tampak tegar, aku merasa ada sesuatu yang salah. "Anak ibu kemana? Biasanya membantukan?" entah kenapa aku melontarkan pertanyaan itu. Bukan tanpa alasan, seingatku sang ibu memiliki dua anak perempuan yang usianya dibawahku, dan terkadang aku melihat mereka membantu sang ibu. "Ya itu mbak, karena anak-anak gak ada yang pulang, padahal libur panjang kok ya gak ada yang pulang. Biasanya Jumat sore itu sudah pulang. HP saya rusak mbak, makanya gak bisa menghubungi, terus tadi malam saya tunggu sampai jam21.00 kok gak ada yang mengetuk pintu. Akhirnya saya ke tetangga, tanya apakah anak saya menghubungi. Dijawab iya, bilang minta disampaikan belum bisa pulang, masih ada tugas yang harus diselesaikan" sang ibu mulai bercerita, sembari masih menguleg bumbu lotek, lalu memotong sayuran sebelum dicampur jadi satu dengan bumbu. Aku hanya melihat punggung sang ibu, dan satu tangannya yang sesekali menyeka mata beliau. Aku terdiam. Aku jadi teringat ibuku.
Sang ibu melanjutkan ceritanya, beliau bilang rasanya sepi ketika anak-anaknya tidak di rumah. Apalagi ini hari raya Idul Adha, satupun anaknya tidak ada yang pulang. Aku tak banyak berkomentar, aku hanya mencoba menghibur sang Ibu dengan mengatakan, pasti nanti kalau tugasnya sudah selesai dan gak repot, anak-anak ibu akan pulang. Tugas? Gak repot? Ada rasa sesak dalam hati, betapa kita sering menjadikan pekerjaan, sekolah, tugas, acara penting, dan hal lainnya sebagai alasan kita tidak pulang menjenguk orang tua kita. Seberapa penting orang tua buat kita? Jika kita mengatakan mereka sangat penting, kenapa kita sering menjadikan mereka nomor dua, tiga, empat, lima, bahkan entah nomor keberapa. Berapa kali dalam seminggu kita mencoba menelpon orang tua kita? berapa kali dalam setahun kita mencoba menjenguk orang tua kita. Orang yang mengorbankan semua masa muda mereka, mengorbankan kesenangan mereka, mengorbankan banyak hal buat kita. Dan kita masih saja tak pernah mengatakan 'terima kasih'. Berapa banyak kita membantah, berkata tidak baik, bahkan membentak orang tua kita hanya karena hal-hal yang tidak sejalan dengan kita, hanya karena keinginan kita tidak dapat mereka penuhi, dan mereka selalu memaafkan kita. Berapa banyak dari kita yang bahkan malu dengan keadaan orang tua kita, malu dengan gubug reot yang mereka miliki, malu dengan pekerjaan yang mereka miliki, bahkan malu dengan kondisi fisik orang tua kita. Tak ingatkah kita, bahwa karena merekalah, kita bisa seperti sekarang ini, gubug reot yang mereka tempatilah yang dulu menampung kita dan memberikan kehangatan luar biasa, tangan keriput merekalah yang dulu menggendong, menyuapi, menggandeng, membelai, bahkan membersihkan kotoran kita. Orang tua, yang tak pernah meminta apa-apa dari anak-anaknya, yang tak pernah minta ganti rugi atas pengorbanan mereka kepada kita. Mereka hanya merindukan kita, merindukan senyum kita, tawa kita, wajah kita, mereka hanya ingin memeluk kita, dan kita tak pernah punya waktu untuk hal itu. Aku kembali teringat dengan ibuku, apa yang sudah kulakukan selama ini? Tak takutkah aku menyia-nyiakan waktu yang telah Tuhan berikan selama ini... Bergegaslah, pulanglah... temui orang tuamu... Peluk mereka, ceritakan hari-harimu pada mereka... Dan katakan terima kasih, katakan bahwa kamu mencintai mereka....
Sang ibu terampil mencampur potongan sayur-sayuran bersama bumbu, aku tahu beliau menangis. Aku juga menangis tanpa kata-kata dan air mata. Kebahagiaan orang tua begitu sederhana, melihat anak-anak mereka. Dan kita, sebagai anak selalu mengaku menyayangi mereka, padahal sejatinya cinta kita tidaklah sebanding dengan cinta mereka. Maafkan aku, Ibu.....
Pernahkah kita benar-benar membaca Al-Quran dan Al-Hadist
Pernahkah kita benar-benar mengamalkan apa yang kita baca
Katakan padaku, berapa banyak Allah swt berbicara tentang orang tua
Tolong... katakan padaku....
Komentar
Posting Komentar