TUESDAY'S CORNER

pic from islamidia.com
Madiun,
Ramadhan kedelapanbelas
You can't make yourself stop dreaming,
Who you're dreaming of,
If it's who you love, then it's who you love...
(Who you love-John Mayer)

Kamar ini tidak banyak berubah, sebuah tempat tidur ukuran 120 x 200 dengan dipan yang sudah dimakan rayap di kanan dan kiri. Sebuah lemari pakaian, rak buku, dan juga kaca setengah badan. Kubuka lemari kayu yang dari luar tampak masih sangat bagus, ada stiker princess yasmin di sudut kanan atas dan beberapa stiker bunga mawar merah, hanya ada beberapa pakaian saja, dan berjamur karena tidak pernah digunakan. Aku menutup lemari kayu dengan tinggi 120 cm ini, di atas lemari kayu ada beberapa barang yang sudah berdebu. Dua figura photo ukuran 2R bersanding dengan keranjang serbaguna warna hijau yang berisi sisir, penjepit rambut, potongan kuku, dan berbagai barang-barang yang juga berdebu. Disebelahnya lagi, ada tumpukan buku-buku yang tidak kalah berdebu dan kotor. Meskipun ada rak buku di kamar ini, tetapi rak buku itu sepertinya sudah rapuh di makan rayap, bahkan buku-buku yang di dalamnya juga ikut jadi korban. Di dinding kamar tepat di atas lemari pakaian ada sebuah kipas angin dinding yang sudah tidak berfungsi dan tentu saja penuh debu, di sebelah kipas angin ada sebuah foto ukuran 10R dan disebelahnya tergantung dua buah medali wisuda. 

Aku tertarik pada tumpukan buku di atas lemari, kuambil satu persatu buku yang penuh debu, dan diantara tumpukan-tumpukan buku itu kutemukan sebuah buku dengan sampul hardcover merah tua, kaligrafi Al-Quran terukir indah meskipun debu menutupinya, aku mengambilnya dan meniup debu yang menutupi, sembari kuusap dengan tangan kananku. Sebuah buku berukuran cukup besar, 21 x 29 cm itu sebenarnya bukan buku biasa, itu adalah sebuah kitab suci Al-Quran. Aku duduk di tepi tempat tidur, sembari membuka mushaf Al-Quran, aku tersenyum...

Sore itu, aku pulang dengan bahagia. Aku tidak sabar memberikan kabar bahagia ini kepada ayah dan ibuku. Aku berlari-lari kecil tanpa menghilangkan sedikitpun senyum yang sudah terkembang sedari tadi. Aku masuk rumah tanpa mengucapkan salam, dan langsung menuju ruang tamu. Aku tahu ayahku biasanya ada di sana sedang duduk menikmati kopi sembari merokok. "Ayah...." aku menghambur ke pelukan ayahku begitu saja, usiaku baru 11tahun. Ayahku tersedak karena ulahku, tapi beliau tidak pernah marah padaku. "Ada apa? Kok bahagia sekali sepertinya putri ayah" laki-laki berkulit gelap dan bermata tajam itu membiarkanku tetap memeluknya. Ibuku yang selalu cantik meskipun tidak menggunakan makeup baru saja selesai memasak makan malam, aku tahu dari aromanya ketika ibuku lewat membawa mangkok berisi sayur sop menuju meja makan. "Bukannya ganti baju malah gangguin ayah, ganti baju dulu sana" Ibu menegurku. Aku tidak menggubrisnya. "Lihat Yah... lihat..." aku semangat menunjukkan kartu berwarna merah muda, kartu itu adalah kartu Iqro'ku. Kutunjukkan baris terakhir dari kartu itu. LULUS. 

pic from luqmanjourney.wordpress.com
Sore itu, akhirnya aku bisa menamatkan pelajaran Iqro'ku di madrasah sore. Meskipun aku lebih terlambat dibandingkan teman-teman seusiaku, aku tetap bahagia. Aku membuang semua rasa maluku kepada teman-teman seusiaku, bahkan kepada teman-teman di madrasahku yang lebih muda daripada diriku. Aku telah berusaha bertahan untuk bisa menyelesaikan Iqro' jilid 1-6 hanya karena aku tidak mau tertinggal lebih jauh dari teman-temanku. Aku ingin seperti mereka. Jika aku berhenti, maka aku akan lebih jauh tertinggal, aku tidak akan bisa seperti mereka. Karena aku ingin mengajari ayahku membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Ayahku memang belum pandai membaca Al-Quran, beliau masih mengeja huruf per huruf dan terbata-bata. Meskipun begitu, aku tahu ayah selalu ingin bisa membaca Al-Quran dengan baik, itu salah satu alasan kenapa aku dimasukkan ke madrasah sore. Guru mengajiku pernah bilang "Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya". Aku masih mengingatnya dengan baik. Ayahku tersenyum, memelukku dan memberiku ucapan selamat. Minggu depan, aku akan mendapatkan kartu baru, bukan kartu warna merah muda lagi, tapi kartu warna kuning muda yang lebih besar ukurannya dan ada namaku di sampulnya. Berbeda dengan kartu Iqro'ku sekarang yang hanya selembar dan sederhana. Namaku hanya tertulis kecil di bagian paling atas. "Lalu, kapan ayah akan membelikanku Al-Quran?" aku merajuk pada ayahku. Ya, aku memang belum memiliki Al-Quran sendiri. "Sementara, kamu pakai Al-Quran yang ada saja dulu" ayah membelai kepalaku lembut. Ada kekecewaan yang tidak bisa kututupi, "Al-Quran yang biasa dipakai ayah maksudnya?" aku sedikit menjauh dari ayah. "Iya, kan isinya sama Nak. Mau Al-Quran baru atau lama semua isinya sama, tidak ada yang berbeda, bahkan sampai tanda baca dan berhentinya juga sama". Aku diam saja, aku ingin protes tapi aku tahan, percuma. Aku tidak akan pernah menang melawan ayahku. Memang ucapan ayah benar, semua Al-Quran isinya sama. Tidak ada yang berbeda satu hurufpun. Itulah keindahan Al-Quran, aku paham hal itu, tapi bukan itu yang aku maksudkan. Al-Quran yang dimiliki ayah sudah sangat lama, bahkan usianya lebih tua dari usiaku, bisa jadi malah seusia ayah. Sampulnya sudah usang, meskipun memiliki warna merah kesukaanku. Kertasnya juga sudah berwarna coklat, seperti kitab-kitab warisan beladiri di film-film laga yang kadang kutonton di televisi, kitab-kitab yang sudah lama dan menjadi harta karun. Selain itu, ukurannya lebih besar dan tebal bandingkan punya teman-temanku yang bisa dibawa kemana saja dengan praktis.

"Nak, bukan masalah Al-Quran yang kamu baca baru atau lama, tetapi selama kamu terus membacanya dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, insyaallah Al-Quran seperti apapun yang kamu gunakan, kebaikan dan pahala Allah swt yang akan kamu dapatkan. Tidak perlu malu sama teman-teman kamu. Itu Al-Quran malah lebih keren dari punya teman-teman kamu loh." Ayah berusaha menghiburku meskipun ayah tahu bahwa aku masih saja kecewa dengan jawaban itu. Aku menginginkan Al-Quran baru. Al-Quran dengan sampul kaligrafi yang indah dan berwarna cantik, yang selalu menarikku untuk membacanya. Al-Quran dengan kertas putih bersih, dan cetakan huruf hijaiyah yang jelas dan bisa kubaca dengan mudah. Al-Quran yang berukuran sedang yang bisa kumasukkan ke dalam tasku dan ringan kubawa. Aku bahkan sudah bisa membayangkan, bagaimana minggu depan teman-teman di madrasah sore akan mengejekku karena Al-Quran ayah. Tapi apa yang bisa kulakukan, aku tahu aku tidak pernah bisa membantah ayah, aku tidak pernah bisa melawan ayah. Aku diam, meninggalkan ayah dengan kekecewaan, masuk ke kamarku dan menahan sekuat yang aku mampu untuk tidak memprotes ayah, untuk tidak menangis.

Aku menjalani hari-hariku di madrasah sore seperti biasa, meskipun dugaanku terbukti benar, hampir semua yang melihat Al-Quranku akan mengejekku, tapi aku berusaha tidak mempermasalahkannya, ayah melarangku mengurusi mereka yang suka mengejek, lagi pula masih ada teman-teman yang tidak pernah mengejekku. Seperti kata ayah, yang penting isinya. Bahkan lama-lama aku merasa perkataan ayah benar, Al-Quranku lebih keren daripada punya teman-temanku. Al-Quranku tidak mungkin tertukar seperti milik teman-temanku. Karena punya mereka mirip, mereka terkadang salah mengambil yang bukan milik mereka. Aku tidak mungkin salah mengambil yang bukan milikku, karena Al-Quran ini hanya ada satu, Al-Quran ayah. Aku tidak pernah meminta dibelikan Al-Quran baru lagi setelah waktu itu, meskipun aku beberapa kali mengeluh pada ayah karena cetakan hurufnya sering membuatku bingung dengan bentuk kaligrafi lama, tapi ayah sepertinya tetap pada pendiriannya, tidak akan membelikanku Al-Quran baru. 

pic from chabad.org
Sore itu, ayah pulang dari kantor seperti biasa. Setelah memarkir sepeda motor Honda Win 100 yang bukan milik ayah sendiri tetapi kendaraan operasional kantor, ayah melepas sepatu dan tas beliau. Ibu sudah membuatkan secangkir kopi seperti biasa. Aku masih asyik menonton acara tv kesukaanku. "Ayah pulang tidak disambut?" ayah mendekatiku. "Iya ayah, selamat datang" aku datar menanggapi, masih asyik dengan tontonanku. "Hadiah buat anak ayah yang sudah bisa membaca Al-Quran" ayah menyodoriku sebuah Al-Quran berwarna merah muda. Al-Quran baru. Aku menoleh, melihatnya sekilas. Senang, tapi tidak begitu senang. Senang karena tidak menyangka akhirnya aku punya Al-Quran baru warna merah tua, warna kesukaanku. Tidak senang karena ukurannya yang lebih besar dari Al-Quran ayah, aku berharap mendapatkan Al-Quran yang lebih kecil, yang bisa kubawa dengan lebih praktis. Aku menatap ayah, mengambil Al-Quran dari tangan ayah, mataku berbinar. Aku tetap saja bahagia meskipun tidak sesuai harapanku, setidaknya aku memiliki Al-Quran baru. Kubuka lembaran-lembaran di dalamnya, kertasnya tidak putih bersih tetapi masih terlihat lebih baik dari Al-Quran ayah, huruf-huruf hijaiyah dicetak dengan model kaligrafi sekarang dan bisa kubaca dengan baik. Meskipun lebih besar dari yang lama, tetapi lebih tipis dan ringan. Aku memeluk ayah,"Terima kasih ayah". Ayah membalas pelukanku, membelaiku dengan penuh kelembutan seperti biasa. Meskipun ayah memiliki wajah yang tegas dan galak, tetapi bagiku beliau adalah sosok yang penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku tahu, hari ini awal bulan. Itu artinya, mungkin hari ini ayah baru menerima gaji. Mungkin juga, ayah sudah rela mengalahkan kepentingan yang lain hanya untuk membelikanku Al-Quran baru.

Aku masih tersenyum membuka lembaran demi lembaran Al-Quran di tanganku. Ada begitu banyak kenangan, perasaan bahagia mendapatkan Al-Quran pertamaku di usia 11tahun. Dan sekarang, sepuluh tahun kemudian, aku melupakan perjuanganku mendapatkan Al-Quran ini, bahkan aku jarang menyentuhnya. Niatku untuk mengajari ayah membaca Al-Quran dengan baik dan benar hanyalah kebohongan, aku tidak pernah melakukannya hingga sekarang. Seringkali kita melupakan hal-hal sederhana yang mampu membuat kita bahagia, dengan lebih memilih memikirkan hal-hal lain yang lebih besar dan hanya bisa menyalahkan. Rasa syukur itu hilang seiring keinginan kita yang tidak pernah habis. Dan ketika kita menyadarinya, kita berpikir semua sudah terlambat dan tidak ada kesempatan kedua. Sebenarnya, kitalah yang berputus asa, kitalah yang berburuk sangka, kitalah yang menganggap bahwa semua terlambat. Padahal, Allah swt menjanjikan banyak hal baik untuk kita yang selalu sabar dan tidak putus asa. 


"Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu adalah orang-orang yang beriman"
(Q.S Ali 'Imran : 139)

tulisan sebelumnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART