UNTITLED

Madiun,
Mencoba menjernihkan pikiran dengan menulis...


"Berapa Bu?" aku mengakhiri sarapan pagi ini dengan memberikan hak sang penjual. Si Ibu tampak lama menghitung, padahal sebenarnya untuk sepiring nasi sayur dan tempe goreng ditambah es teh tawar dan kerupuk tidaklah memerlukan terlalu banyak waktu untuk berpikir. Aku memiliki perasaan yang tidak enak melihat si Ibu tampak ragu dan lama berpikir. Mungkin karena aku seminggu ini tidak mampir ke warung beliau, jadi beliau sedang mengkalkulasi total berapa harga yang harus kubayar karena mengabaikan masakan beliau seminggu ini. "Berapa Bu?" aku mengulangi pertanyaanku lagi. Dengan wajah masih bimbang beliau menjawab lirih, sangat lirih "Dua belas ribu mbak". Ir. H Djuanda Kartawidjaja tampak melihatku lewat kacamata beliau seolah menatapku tajam sembari membaca pikiranku waktu kuserahkan ke si Ibu. Setelah seorang Dr. GSSJ Ratulangi, tiga orang Dr. KH Idham Khalid, seorang Pangeran Antasari, dan seorang Tjut Meutia menggantikan Ir. H. Djuanda Kartawidjaja mengisi dompetku, aku beranjak untuk melanjutkan pekerjaanku yang masih tertunda. 

Dua belas ribu, sebenarnya bukan nominal yang besar. Aku bahkan sering menghabiskan lima hingga sepuluh kali lipat dari nominal itu hanya untuk menuruti keinginanku yang belum tentu menjadi kebutuhan perut dan tubuhku. Hanya keinginan untuk mencecap sebuah rasa, yang berakhir sama di pembuangan. Tapi dua belas ribu ini, selalu menjadi misteri dalam rincian pengeluaran kepada penjual. Jika aku sarapan di warung makan selain punya si Ibu, akan jelas rinciannya. Nasi sayur dan tempe empat ribu rupiah, es teh tawar dua ribu rupiah, kerupuk seribu rupiah, jadi total sarapanku tujuh ribu rupiah. Berbeda dengan si Ibu ini yang melabeli harga makanan sesuai suasana hatinya. Pada hari-hari biasa, kalau aku sarapan dengan menu yang sama, nasi sayur dan tempe goreng ditambah teh hangat, aku hanya dikenakan biaya sekitar enam ribu hingga delapan ribu. Tapi pagi ini, dengan tambahan kerupuk aku dikenai biaya dua belas ribu. Secara matematika, harga satu kerupuk lima ribu. 

Inilah keajaiban matematika si Ibu, sampai detik ini belum ada seorangpun di kantor yang mampu memecahkannya. Belum lagi kasus metematika dimana si A memesan es kopi seharga tiga ribu rupiah pada hari senin pagi, lalu si B memesan es kopi yang sama pada hari senin siang seharga lima ribu rupiah. Jadi berapakah harga es kopi? Atau kasus matematika si A makan nasi sayur dan tempe ditambah kerupuk seharga tujuh ribu rupiah pada hari Selasa jam sepuluh pagi, lalu si A makan lagi nasi sayur dan tempe yang sama tanpa tambahan kerupuk pada hari Selasa jam dua siang seharga sepuluh ribu rupiah. Jadi berapakah harga satu kerupuk? Apakah dengan tambahan kerupuk si A mendapatkan diskon 30%? Ataukah si A mendapatkan kenaikan progresif dimana pada pembelian kedua si A dikenakan harga yang meningkat (silahkan tidak perlu dijawab).

Kebiasaan si Ibu ini yang akhirnya membuat warung beliau sepi. Orang-orang lebih memilih untuk makan di luar kantor daripada di warung si Ibu. Selain itu, menu yang ditawarkan yang semakin hari semakin tidak menarik juga menjadi alasan tersendiri. Menu yang tidak menarik, harga yang tidak stabil dan di atas rata-rata. Mungkin pelanggan setia si Ibu hanya tinggal satu dua orang saja, yang sebenarnya lebih merasa kasihan sama si Ibu karena tidak ada yang makan di warung beliau. Aku sendiri sudah mulai meninggalkan masakan si Ibu. Aku lebih sering makan di luar meskipun sebenarnya uang yang kukeluarkan lebih banyak atau setara, setidaknya apa yang kudapat seimbang dengan harga yang kukeluarkan. Namun, setiap kali melihat si Ibu yang diam saja menunggu warungnya yang sepi dan membawa pulang masakannya yang masih tersisa, ada rasa tidak tega. Hingga aku menelaah apa penyebab si Ibu memberikan harga-harga yang tidak bisa dijangkau matematika. Suami si Ibu ini sebenarnya adalah salah satu OB di kantor, dengan gaji kurang lebih 2,9 juta setiap bulan (sebenarnya melebihi gaji PNS dengan golongan IIc masa kerja 10 tahun sepertiku). Sayangnya, suami dan si Ibu ini kurang bisa melakukan pengaturan keuangan. Pada masa dulu, si Ibu lebih sering memanjakan anak-anaknya entah dengan alasan apa. Berhutang sana sini, mencari pinjaman ke siapapun demi sebuah "gengsi", hingga akhirnya besar pasak daripada tiang. Bahkan ketika sang anak-anak yang diharapkan setelah selesai kuliah bisa mandiri, ternyata belum mampu memenuhi harapan orang tua mereka. Sekali menggali lubang untuk menutup lubang yang lain, lubang-lubang itu akan semakin banyak. Kepercayan orang-orang pada si Ibu ini akhirnya sedikit demi sedikit hilang. Sebenarnya, ada baiknya juga kepercayaan itu hilang. Selalu ada hikmah dibalik sesuatu yang kita anggap tidak baik, nyatanya si Ibu sekarang mulai menata pengeluarannya, menutup satu demi satu lubang-lubang yang sudah terlanjur tergali. Dan sekeras-kerasnya hati, akan luluh juga melihat ketidakberdayaan si Ibu. Sekali dua kali aku menyempatkan diri mampir ke warung beliau, meskipun hanya untuk sebuah gorengan atau segelas es teh. Dua ribu atau tiga ribu rupiah yang biasa kupakai untuk membayar parkir sepeda motor, mungkin saja berarti untuk si Ibu, mungkin saja bisa menyambung kepulan asap di dapur si Ibu. 

Semahal apapun si Ibu memberiku harga, tidak akan pernah membuatku miskin. Semahal apapun si Ibu memberiku harga, tidak akan pernah lebih mahal dari harga makanan di restaurant yang sering kukunjungi. Semahal apapun si Ibu memberiku harga, tidak akan pernah membuat beliau kaya. Ketika aku ditampar oleh kalimat-kalimat seperti itu, aku hanya bisa belajar untuk ikhlas. Memperbaiki kembali niatku. Betapa Allah swt selalu memerintahkan untuk menolong dan memudahkan urusan saudara-saudara kita, betapa Rasulullah saw selalu memberikan teladan terbaik dengan peduli terhadap orang-orang di sekitar beliau. Betapa Islam selalu mengajarkan tentang memberi dengan ikhlas. Ikhlas. Tanpa mengharap apapun. Sedikitpun. Merubah niat membayar menjadi sedekah. Membantu si Ibu untuk mencari rejeki. Kaya bukan dilihat dari berapa banyak kita memiliki, tetapi berapa banyak kita memberi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART