CELOTEH DUA HATI #6

Menulis itu candu,
Maka jangan pernah berhenti menulis

First Heart POV

Aku menghela nafas kesal, ini sudah lebih dari satu bulan, entah sudah berapa kali aku bolak balik ke bank ini hanya untuk mengecek apakah uangku sudah masuk ke rekeningku atau belum. Tetapi hasilnya nihil. Tidak ada setoran uang masuk sama sekali. Pikiran buruk mulai muncul satu per satu. Tidak tahukah mereka, bahwa aku memerlukan uang tersebut. Mungkin bagi beberapa orang itu bukan nominal yang besar, hanya beberapa ratus ribu saja. Tetapi untukku, itu bisa menyambung hidupku dan keluargaku. Aku memerlukan uang itu, apalagi aku baru saja dipecat dari pekerjaanku. Hidup ini keras kawan.

Aku mencoba menghubungi sebuah nomor telepon perusahaan dimana aku seharusnya mendapatkan uang itu. Tidak ada jawaban. Aku coba mengirimkan pesan, sama saja tidak ada balasan. Bahkan mungkin tidak dibaca. Kemana orang-orang itu, apakah mereka sengaja? Apakah mereka berniat menipu?
Kesabaranku habis, ini sudah satu bulan lebih dan uangku belum kuterima. Mereka susah sekali dihubungi. Aku mengirim pesan cukup keras “Kembalikan uang saya, jangan dikorupsi”. Aku menghela nafas keras, aku benar-benar marah. Mereka pasti memakai uangku. Mereka pasti sengaja tidak mengembalikan uangku. Inilah potret negeri ini, seperti yang kulihat di surat kabar, media sosial, televisi, radio, maupun dimanapun aku berjalan. Negara ini adalah negara koruptor. Uang rakyat kecil dimakan perut-perut kotor mereka. Mereka tidak tahu malu. Benar-benar tikus yang harus dibasmi. Miris.

Second Heart POV

Ini membunuhku. Benar-benar membunuhku. Demi Tuhan, aku tidak ingin mengumpat, tapi kembali aku tidak mampu menahan rasa lelah ini. Sudah dua bulan ini aku hanya bisa tidur 2-3 jam saja. Bekerja siang malam tanpa henti. Entah apa yang sebenarnya kucari. Keberkahan? Aku tersenyum miris, semoga ini benar-benar membawa keberkahan. Program perusahaan sangat banyak akhir-akhir ini, peminatnya juga sangat banyak. Sebisa mungkin semua kukerjakan sesuai prosedur yang ada, tetapi apa dayaku, kenyataannya ini terlalu banyak. Mengelola uang pihak ketiga bukan hal mudah. Bukan hanya satu dua setoran, tetapi ribuan uang masuk yang harus kuverifikasi satu per satu. Ini benar-benar memakan waktu yang tidak sedikit. Bukan hanya waktu saja yang terkuras, tetapi juga tenaga, pikiran, dan mental. Akan lebih menyebalkan lagi ketika data yang masuk ke database perusahaan adalah data yang tidak valid. Aku bisa apa? Menyalahkan peserta program juga tidak mungkin, mereka semua tidak berasal dari orang-orang yang paham teknologi atau hal-hal seperti ini. Mereka hanya tahu data yang mereka berikan sudah sesuai, padahal masih banyak yang keliru mengisi data. Akibatnya? Apalagi kalau bukan uang-uang yang masuk itu tidak bisa kutransfer ke pemiliknya karena data yang tidak sesuai mengakibatkan system perbankan menolaknya. Menghubungi satu per satu orang-orang itu akan menambah waktuku, sedangkan program harian terus saja berjalan.

Aku menghela nafas lelah. Bosan. Bahkan mataku mungkin sekarang sudah bertambah lagi minusnya. Bagian customer service tidak kalah sibuknya. Saat seperti ini akan banyak sekali keluhan yang masuk. Mereka juga harus siap mental dan hati dengan makian dan cacian dari customer. Ini resiko pekerjaan. Kita bisa apa?
Beruntung apabila customer paham dan mau mengerti, akan lain cerita apabila customer tidak paham tapi merasa sudah benar. Aku sendiri, yang berada di bagian pendistribusian memilih pasif disaat seperti ini. Memilih menunggu customer mengajukan klaim atas uang mereka yang belum mereka terima. Malas? Bukan mencari pembenaran, tetapi aku sudah memproses uang mereka sesuai data yang mereka berikan, namun tertolak oleh system karena data yang mereka berikan berbeda.

First Heart POV

“Mohon maaf atas ketidaknyamanan Saudara.  Bisa diberikan kode partisipan Saudara atas program kami? Terima kasih” sebuah pesan masuk, dari perusahaan yang kemarin menjanjikan uangku akan dikirim dalam waktu maksimal satu minggu, tetapi ini sudah lewat satu bulan. Dan lihat sekarang? Setelah dua hari pesanku baru dibalas, dan masih menanyakan kode partisi atau apalah itu. Aku tidak mengerti. Aku hanya ingin uangku segera ditransfer ke rekeningku.

“Oh, jelas saya sangat tidak nyaman. Saya yang ikut program satu bulan lalu. Bukankah nama saya sudah jelas? Kurang apalagi?” aku masih merasa ditipu oleh mereka. Mereka hanya mencari-cari alasan untuk tidak mentransfer uangku. Mereka hanya ingin memakan uangku. Bodohnya aku. Padahal di website mereka sendiri aku banyak membaca komentar kalau banyak uang yang tidak ditransfer, tetapi aku masih saja terlena mengikuti program ini. Sialan. Negara ini benar-benar sudah rusak dan penuh para koruptor. Bayangkan saja, meski hanya nominalnya seratus ribu, dikalikan berapa banyak yang mengikuti program ini, pasti bisa mencapai ratusan juta.

Second Heart POV

Siang ini, aku mendapat aduan dari customer service yang mengatakan ada uang yang belum masuk ke rekening peserta program. Seperti sebelum-sebelumnya, aku menanyakan kode partisipan peserta tersebut. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan cek jika hanya menyebutkan nama, sedangkan system pencarian di database perusahaan ini adalah kode partisipan. Hal ini tentu saja karena banyak orang memiliki nama yang sama. Pihak customer service hanya menjawab bahwa peserta program tidak memberikan kode partisipan, dia hanya bilang mengikuti program bulan lalu. Bolehkah aku tertawa? Menertawakan diriku sendiri atau mungkin orang lain. Perusahaan ini setiap hari memiliki program yang sama. Dan program ini pesertanya berbeda-beda setiap harinya. Itu sebabnya aku memerlukan kode partisipan karena itu satu-satunya kode yang tidak akan sama satu sama lain.

Akhirnya bagian customer service mengalah. Bukan aku tidak mau tahu, aku tahu persis bagaimana bagian customer service harus memiliki hati seluas samudera dalam menghadapi customer yang bhineka tunggal ika berbeda-beda tapi satu tujuan, ingin uang mereka segera terkirim. Mereka bukanlah eksekutor permasalahan, mereka hanya sebagai perantara. Akan ada bagian lain yang menjadi eksekutor permasalahan, dan biasanya bagian eksekutor sendiri tidak akan melayani keluhan yang tidak jelas identitas dan datanya. Terlalu banyak yang harus dikerjakan. Pada akhirnya semua harus bisa menekan ego masing-masing.

First Heart POV

“Dapat kami sampaikan, bahwa kami memerlukan kode partisipan anda untuk dapat kami lakukan tindak lanjut atau penelusuran atas transaksi anda yang belum masuk rekening.” Aku kembali mendapat sebuah pesan. Ya Tuhan, apalagi sekarang? Kode partisi? Partisipan? Apalah itu, kenapa sulit sekali prosedur di negara ini. Tidakkah negara ini mayoritas penduduknya beragama? Tidakkah mereka mengerti barang siapa yang mempermudah urusan orang lain maka urusan mereka akan dipermudah oleh Tuhan. Kenapa hal sepele seperti ini mereka mempersulit. Aku harus lihat kode apapun itu dimana? 

“Kode apa itu? Saya lihat dimana?” akhirnya aku membalas pesan mereka. Oke, aku akan ikuti mau mereka. Dan kita lihat sejauh apa mereka bisa melakukan korupsi atas uang itu.

Second Heart POV

Bukan hal mengejutkan, ketika customer tidak paham akan prosedur dan standart pelayanan di perusahaan ini akan merasa dipersulit. Ayolah, ini bukan perusahaan pribadi yang bisa seenaknya saja melakukan transaksi keuangan tanpa persetujuan atau prosedur yang telah ditetapkan. Beruntung apabila customer memahaminya dan mengakui kesalahan mereka dalam mengisi data rekeningnya. Lain cerita apabila customer tidak paham bahkan merasa benar. Bahkan ketika diminta mengirimkan data ulang akan ada ‘drama’ terlebih dahulu. Bukankah mereka paham bahwa aku dan karyawan di perusahaan ini bekerja sesuai peraturan yang telah ditetapkan oleh mereka yang menyebut diri sebagai para pemimpin itu. Kami hanyalah pion yang ditaruh di garda depan yang bahkan keberadaan kami seringkali tidak dianggap, sering dikorbankan untuk tujuan sang raja. Ketika ada keluhan, aku harus siap dimaki customer maupun atasan karena dianggap tidak becus bekerja. Bolehkah aku membalas memaki mereka? Siapa yang membuat pekerjaanku tidak beres kalau bukan mereka sendiri? Mereka yang mengisi data bukan aku. Mereka yang membuat peraturan bukan aku. Aku hanya bekerja sesuai data yang mereka berikan dan peraturan yang mereka buat. Mencari pembenar? Tentu saja, siapa yang mau disalahkan?

First Heart POV

“Kode partisipan adalah kode yang anda dapatkan pada saat mengikuti program kami. Satu kode partisipan hanya untuk satu orang dan satu program.” Aku mendapat balasan pesan kembali, menyusahkan. Aku harus membuka dan mencari ulang file yang memuat kode partisipanku. Setelah itu, aku mengirimkan kode tersebut. Kita lihat, berapa lama mereka akan menahan uangku setelah ini.

“Setelah kami lakukan cek atas kode partisipan anda, dapat kami sampaikan bahwa uang tersebut gagal terkirim ke rekening karena data anda tidak sesuai. Harap mengirimkan foto buku tabungan untuk proses selanjutnya.” Lihatkan? Mereka memang sengaja mencari alasan. Ada saja alasannya. Apabila dataku salah, seharusnya sejak awal sudah ditolakkan? Kenapa di awal dataku diterima begitu saja? Benar-benar tidak professional. Hanya mencari keuntungan saja. Sungguh orang-orang yang menyedihkan.

“Tidak sesuai bagaimana? Jelas-jelas data saya diterima pada saat pendaftaran.” aku membalas pesan. Mereka hanya mencari alasan untuk tidak memberikan uangku. Itu sudah pasti. Aku yakin sekali. Dasar koruptor.

Second Heart POV

Pagi ini aku kembali mendapat aduan dari bagian customer service terkait customer yang uangnya belum terkirim tetapi tidak mau memberikan foto buku tabungannya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikir customer tersebut. Apa susahnya memberikan foto buku tabungannya dan masalah selesai. Uangnya akan lebih cepat dia terima. Kenapa aku meminta foto buku tabungan? Tentu saja karena seperti yang sudah kukatakan bahwa tidak semua customer paham dalam mengisi data rekening. Mereka tidak tahu bahwa system perbankan akan menolak ketika data berbeda walau hanya tanda spasi, titik, maupun koma. Mereka seharusnya mengisi data sama persis dengan yang tertera dalam buku tabungan, itu sebabnya daripada uang mereka tidak terkirim hanya karena kesalahan penulisan satu huruf saja, aku meminta foto buku tabungan untuk bisa kusesuaikan dengan data mereka secara manual. Sayangnya, banyak customer yang tidak paham, tetapi tidak mau tahu saat diberitahu. Manusia macam apa mereka. Mereka sungguh mempersulit diri mereka sendiri dan orang lain.

First Heart POV

“Pada system perbankan tertulis rekening salah. Oleh karena itu, kami memerlukan foto buku tabungan anda untuk dapat kami lakukan cek antara data yang ada pada database kami dan data pada buku tabungan anda.” Aku mulai muak dengan pesan itu. Aku tidak mengerti cara berpikir mereka. Kenapa sulit sekali memberikan hak orang lain? Apakah mereka puas memberi nafkah keluarga mereka dengan uang hasil korupsi? Akhirnya aku kembali mengikuti permainan mereka, kukirimkan saja foto buku tabunganku. Biar mereka merasa senang.

Second Heart POV

Sebenarnya ini masalah yang sederhana, tetapi menjadi rumit ketika berhadapan dengan orang yang berpikiran rumit. Data yang tersimpan pada database perusahaan hanya berbeda satu angka dengan data yang tertulis pada buku tabungan, tapi ini menjadi fatal karena transaksi akan ditolak oleh sistem perbankan. Akhirnya aku memproses transaksi ini kembali sesuai dengan data yang tertera pada buku tabungan customer. Aku memberikan bukti pengiriman uang ke bagian customer service untuk disampaikan ke customer. Satu pekerjaan selesai. Jangan katakan kalau customer tidak paham bahwa ada biaya pengiriman antar bank senilai lima ribu yang dibebankan ke penerima uang. Aku tidak mau mendengar ada keluhan semacam itu lagi. Case closed.

First Heart POV

“Berikut kami sampaikan bukti pemindahbukuan uang ke rekening anda. Selanjutnya demi kelancaran pemindahbukuan uang ke rekening anda dalam program berikutnya, diharapkan anda dapat melakukan update data anda pada formulir yang tersedia di database kami. Terima kasih.” Aku mendapat balasan penyelesaian atas uangku yang sudah satu bulan lebih belum dikirimkan. Aku lihat bukti pengiriman uang yang ada. Benar yang kukatakan, mereka memang koruptor. Seharusnya aku mendapatkan seratus ribu, tetapi yang masuk ke rekeningku hanya Sembilan puluh lima ribu. Kemana uang lima ribuku? Fee beneficiary?  Apalagi itu? Bilang saja kalau mereka mengambil uang lima ribuku. Case closed.




"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari berburuk sangka itu dosa"
(Q.S Al-Hujurat : 12)


Yogyakarta, 25 Juli 2020
pukul 22.32 wib




Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART