OASE #2

 
Desember 2018
"Selamat ya, kamu pulang kampung" teman-temanku memberiku ucapan selamat. Siang itu, aku yang tidak tahu apa-apa bertanya-tanya, pulang kampung? 
"Wah, Tisa kamu mutasi ke Jogja loh. Seneng ya bisa pulang kampung, sesuai harapan," Sila dengan antusias memberiku ucapan selamat. Dan saat itu, aku baru paham kalau ternyata keputusan mutasi dari perusahaan keluar dan aku dimutasi ke Jogja, sebagaimana pilihanku untuk bisa kembali ke rumah. Rumah, ya rumah. Tapi ada hal yang mereka lupa, perusahaan tempatku bekerja bukanlah perusahaan yang menerapkan seorang karyawan untuk bisa tetap tinggal di satu tempat. Perusahaan ini memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia dengan sistem mutasi seluruh Indonesia. Artinya, jika aku dimutasi sekarang ke Jogja, aku hanya akan di Jogja beberapa tahun saja untuk selanjutnya aku akan mengalami banyak perjalanan mutasi lainnya. Senang? Ya, karena aku kembali ke rumah. Sedih? Ya, karena aku tidak ingin secepat ini kembali ke rumah yang akhirnya aku harus meninggalkan rumah lagi. Aku ingin kembali ke rumah saat nanti aku sudah menginjak usia berhenti bekerja. Agar aku bisa menikmati masa-masa tuaku di Jogja.

Aku mempertanyakan kenapa harus sekarang? Kenapa tidak nanti saja?


01 Mei 2023
"Ibu didampingi terus ya mbak, jangan ditinggal. Lakukan taqlil*" dokter jaga siang itu meninggalkan ruangan setelah memasang monitor pasien dan masker oksigen. Di ranjang, Ibuku sedang berjuang dengan nafas beratnya. Aku memegang kaki ibuku, masih hangat. Ini akan baik-baik saja, ini bisa dilalui. Kugenggam tangan kiri ibuku, kubisikkan kalimat syahadat dan tahlil berulang-ulang. Ini tidak mudah, tapi aku yakin pasti bisa terlalui. Allah akan memudahkan semua. Nafas ibu semakin berat dan tak beraturan, kugenggam tangan kiri Ibu dengan terus membisikkan kalimat syahadat. Allah akan menolongku dan Ibu melalui ini. Kaki ibu masih hangat, namun keringat dingin mulai terasa di tangan Ibu. Ini tidak benar. Tentu saja. Kutepis semua pikiran burukku, aku fokus menguatkan Ibu. Ibu pasti bisa melalui ini dengan mudah. Sekali lagi dan sekali lagi dan terus sekali lagi, kubisikkan kalimat syahadat dan tahlil. Semakin erat kugenggam tangan kiri Ibuku, kutatap wajah beliau yang tampak lembut bercahaya. Ibu tidak sakit, Ibu terlihat sehat. Wajahnya terlihat cerah, bersih, ini pasti salah. Ibu pasti bisa melalui ini, sekali lagi untuk kesekian kali, Allah pasti akan memberi kekuatan kepada Ibuku.

 ***
"nanti buka puasa mau dibawain apa Bu?" seperti biasa, pagi itu aku menanyakan menu buka puasa apa yang ingin Ibu makan. Aku bersiap ke kantor, memakai sepatu dan jaketku.

"terserah nok, Ibu apa saja mau. Ikan saja kalau ada" dan seperti biasa pula, Ibuku selalu menungguku dan mengantarku ke depan rumah hingga aku berangkat kerja.

"njih Bu. Insyaallah mangke kulo bawakan. Assalamualaikum" Aku mencium tangan Ibuku berpamitan.

"waalaikumsalam," Ibuku melihatku menaiki motor dan menjauh dari penglihatan beliau.

Ini sudah tahun keempat aku di Jogja. Berat awalnya, lingkungan kerja yang berbeda, beban kerja yang berbeda. Jarak rumah dan kantor yang jauh, karena aku tidak tinggal di Kota Jogja-nya membuatku memilih mencari tempat kos untuk beristirahat dan berteduh agar tidak terlalu lelah. Hanya karena ini adalah rumahku, maka semua lelah itu tak berbekas. Hanya karena aku bisa lebih sering bertemu Ibu, maka semua lelah itu menghilang.

Ini adalah ramadhan ke empat aku di Jogja, ramadhan ke tiga belas tanpa ayahku. Alhamdulillah, 4tahun ini bisa menghabiskan ramadhan bersama Ibu dan adikku. Karena bulan Ramadhan jam pulang kerja lebih awal, aku memilih untuk pulang pergi dari rumah ke kantor setiap hari. Setidaknya, aku bisa berbuka dan sahur di rumah bersama Ibu dan adikku. Kondisi Ibu yang tidak seperti dulu juga membuatku lebih memilih untuk sering pulang pergi dari rumah ke kantor. Sudah 4tahun ini juga, Ibu mengalami stroke ringan. Keluar masuk rumah sakit untuk berobat karena diabetes sejak 6tahun lalu. Menjalani terapi rutin sejak terkena stroke, dan alhamdulillah Ibu bisa beraktifitas sehari-hari meskipun fisik beliau tidak terlalu baik.

***

Hanya ada suara monitor pasien yang semakin melemah di ruangan ini. Saturasi oksigen terus menurun. Kupegang kaki ibuku. Dingin. Tangan yang sedari tadi kugenggam semakin dingin. Suara nafas yang semakin berat dan sesak meskipun masker oksigen telah dipasang. Tidak ada dokter ataupun perawat yang membantu. Mereka telah meninggalkan ruangan sejak dua jam lalu. Dua jam. Kakakku yang ikut menunggu terus memantau kondisi Ibu.

"Mas, bantu Ibu dengan membaca Al-Quran," aku lelah. Tapi aku tidak ingin menyerah. Ini terasa salah.

Kakakku mengambil wudhu dan mulai membaca Al-Quran di samping Ibu. Sementara tanganku terus menggenggam tangan kiri Ibu. Kuhapus keringat dingin yang mulai ada di kening Ibu. Wajah ibu cantik, wajah Ibu bercahaya, putih, bersih, dan terlihat segar. Ibu tidak sakit. Lagi dan lagi, kubisikkan tahlil. Tanpa bersuara Ibu terus mencoba mengikuti. Ini terlalu panjang. Kubisikkan takbir. Aku tidak tahu apa yang saat ini Ibu rasakan. Aku hanya tahu bagaimana Ibuku berjuang dengan nafas beratnya, terengah-engah, keringat dingin membasahi kening. Tubuh Ibu mulai dingin. Monitor pasien berbunyi semakin melambat.

"Dek, monitornya..." kakakku tergagap. Belum selesai satu surat yasin, monitor pasien mulai berhenti mengeluarkan bunyi dengan jeda yang lambat. Aku tidak peduli, aku tidak mau mendengarnya. Aku semakin kuat menggenggam tangan ibu, kubisikkan nama Allah ditelinga ibu. Kakakku keluar ruangan, mencari dokter jaga siang itu.

Aku masih mendengar suara monitor pasien. Nafas ibuku sudah tidak terengah-engah lagi. Halus. Tidak ada suara apapun. Dokter masuk bersama kakakku dan beberapa perawat. Memintaku untuk melepas pegangan tanganku pada ibu. Ini berat, tapi aku yakin ibu telah melaluinya dengan baik. Tidak ada rasa sakit.

03 Mei 2023
Malam ini adalah malam ketiga acara tahlilan di rumah. Setelah ini, semua akan kembali ke rumah masing-masing. Ibuku juga telah pulang. Pulang kepemiliknya.

Empat tahun lalu, aku bertanya-tanya kenapa Allah memilihkan aku untuk pulang ke Jogja. Kenapa tidak nanti saja saat aku tua. Tapi hari ini, aku mendapat jawabannya. Karena Allah lebih tahu apa yang kubutuhkan. Allah sayang padaku, sayang pada ibuku. Allah tidak ingin melihatku menyesal. Sama dengan enam belas tahun lalu, ketika ibuku bertanya kenapa Allah mengkaruniakan rizki seorang anak diusia beliau yang sudah empat puluh tahun lebih. Dimana Allah menjawabnya tiga tahun kemudian dengan mengambil ayahku. Menjadikan adikku sebagai kekuatan ibuku untuk terus menjalani hidup, untuk terus berjuang melawan sakitnya.


"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Q.S Al-Baqarah : 216)

Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART