Jejak Tertinggal (Bag. 1)

(Jejak Nini)
Pagi yang begitu indah, udara dingin menembus relung hati... dingin, dingin, dan terlalu dingin. Walo mentari mencoba untuk menghangatkanku, percuma...
rasanya terlalu dingin, ataukah hatiku saja yang terlanjur membeku?
"Ni...!!! kamu dah bangun?"
ah... suara itu, aku ingat betul dengan suara itu. Suara yang tiap pagi selalu kudengar. Lelah kah aku mendengar suara itu? entahlah,,,, setidaknya aku tahu suara itu tak pernah lelah memanggilku.
"krek.."
"kamu sedang apa? Bunda pikir kamu masih tidur, sudah subuh?"
aku hanya memandang keluar jendela, tanpa menolehpun aku tahu itu Bunda, wanita 45tahun yang tampak lebih tua dari usianya. karena perjuangannya melawan hidup seorang diri.
"Ni...."
kurasakan tangan lembutnya menyentuh bahuku. Aku yanng terus mematung, melawan dinginnya pagi. Entahlah, mungkin lebih tepat dinginnya hatiku.
"Nini masih marah ma Bunda?"
Aku memandang lepas ke luar, kendaraan lalu-lalang tak pernah beerhenti sedetikpun. Orang mulai mengadu nasib pada kehidupan yang tak pernah adil. Ya,,, tak pernah adil untukku.
Perempuan dengan cahaya hatinya itu duduk di sampingku, matanya yang teduh tetap saja tak bisa membohongiku betapa dia juga sangat lelah dengan kehidupan ini.
"Bunda... Bunda ingin Nini bahagia,,,,"
kata2 itu... bukan pertama kali aku dengar. Sejak 17tahun lalu aku t'lah mendengar kata2 yang sama. Sepertinya hatiku terlanjur membeku, entah apa yang kupikirkan saat ini. Bencikah, kecewakah aku pada Bunda? Yang ku tahu, aku sangat lelah dan lelah... sangat lelah untuk bicara,,, bicara tentang kehidupan ini.
**********
"iya maz... Insyaallah saya terima, asal maz bisa menganggap Nini sebagai anak sendiri"
Siang ini, ketika aku pulang sekolah. Kulihat mobil yang tak asing lagi diparkir di depan halaman gubuk tua ini. Dan sebelum aku masuk, aku dikejutkan oleh jawaban Bunda terhadap laki2 di depannya. Siapa lagi kalau bukan Om Rizal, orang kaya yang beberapa bulan terakhir ini mendekati Bunda. Dia memang kaya, pemilik perkebunan Teh tempat Bunda bekerja memetik daun Teh. Seorang Duda yang karena kecelakaan 8tahun lalu merenggut nyawa istrinya. Dia orang yang baex, dan aku percaya itu. Sungguh, kata2 Bunda barusan membuat hatiku yang terasa dingin dan sesak ini mulai mencair. Aku tak percaya, apa aku tidak salah dengar. Seingatku, beberapa waktu yang lalu Bunda sempat menolak lamaran Om Rizal, entah apa yang membuat Bunda berubah pikiran.
"Saya hanya ingin Nini bahagia"
Kata2 itu... yach, kata2 itu yang selalu Bunda ucapkan. Benarkah karena itu Bunda tiba2 berubah pikiran dengan menerima lamaran Om Rizal.
**********
Waktu berputar seperti roda. Dan sekarang, hanya dalam sekejap kehidupan yang ku bilang ini tidak adil berubah menjadi sangat adil untukku. Sehari setelah Bunda menikah dengan Om Rizal, aku dan Bunda langsung diboyong ke perumahan mewah yang sebelumnya sama sekali tak pernah ku bayangkan untuk meilikinya. Dan semua hal yang belum pernah ku sentuh selama 17tahun ini, dalam sekejap menjadi milikku. Seperti seorang Cinderella, yups.... aku adalah Cinderella.
Tapi, satu hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Om Rizal punya seorang Putri seusiaku, yang ku pikir, aku akan menjadi saudara yang sangat menyenangkan. Ternyata aku salah, aku benar2 hanya seorang Cinderella.
"Sa... kenalkan sayang, ini keluarga baru kita. Bunda Desti dan Lani, kamu bisa panggil Nini. Papa harap kalian bisa jadi saudara yang menyenangkan"
makan malam itu, adalah awal aku meyadari bahwa aku tlah salah. Gadis manis d depanku yang sore tadi baru datang dari pertukaran pelajaran ke Singapura hanya diam, diam, dan diam...
ku perhatikan dia, dia seolah tak peduli.
"aku cape' mw tidur duluan"
dia beranjak meninggalkan kursinya, padahal makanan d piringnya masih utuh dan belum tersentuh sedikitpun. Kuperhatikan Om Rizal tak banyak melakukan sesuatu, dia hanya tersenyum.
"maaf ya, Sasa... memang begitu, tapi dia baex kok"
Om Rizal seolah bisa membaca pikiranku. Aku hanya tersenyum.
"Apa Sasa setuju dengan pernikahan kita Maz"
Bunda yang biasanya tak banyak bicara akhirnya membuka percakapan.
Om Rizal seolah enggan untuk menjawabnya.
"Dia tahu soal rencana pernikahan kita, bahkan sejak beberapa bulan yang lalu dia sudah mengetahuinya"
"Sasa setuju?" lagi2 Bunda menuntut jawaban pasti.
"Ku pikir begitu. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan"
***************
(Jejak Sasa)
Sore ini, saat aku pulang dari Singapore aku melihat seorang wanita bermata teduh dan gadis seusiaku ada di rumahku. Yups, mereka keluarga baru Papa. Sebenarnya aku sudah tahu sejak beberapa bulan terakhir ini, ketika Papa bercerita ingin membuat keluarga yang utuh untukku. Untukku? aku sendiri ragu apakah benar untukku atau hanya untuk Papa saja. Rasanya aku malas kembali ke Rumah, sejak 8tahun lalu bagiku aku sudah tidak punya rumah. Dan malam ini, saat makan malam Papa memperkenalkan keluarga barunya padaku. Sepertinya papa sangat bahagia, senyum itu yang lama tak pernah ku lihat. Tapi,,,, senyum itu bukan lagi senyum yang sama dengan 8tahun silam.
"Aku cape' aku mw tidur duluan"
tak sampai 5menit aku bertahan d meja makan. Padahal, setelah 8tahun baru malam itu aku bisa duduk di meja makan bersama Papa. Dan aku, tidak tahu merasa senang ataukah sedih. Kuberanjak ke kamarku, samar2 aku masih mendengar percakapan mereka. Lagi2 aku merasa iri, sangat iri... hingga akhirnya aku benci,,,
"Ku pikir begitu. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan"
samar2 aku mendengar kata2 itu. ya, dia benar... memang tidak perlu dipikirkan. Lagi pula sejak kapan dia mw memikirkanku.
Lagu lawas album biru sayup2 terdengar dan semakin jelas di telingaku. Membuaiku dalam mimpi indah di pangkuan Mama.
**********

(bersambung... Bag. 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART