Jejak Tertinggal (Bag. 2)
(Jejak Nini)
Pagi ini adalah hari pertama aku masuk sekolah baru. Setelah pindah rumah, akupun juga harus pindah sekolah. Dan papa (Om Rizal) tentunya ingin aku sekolah di tempat yang sama dengan putri tunnggalnya, Sasa. Sekolah yang tidak sembarang anak bisa masuk sekolah ini. SMA Nusa Bangsa.
Bunda tampak sibuk mempersiapkan tas yang akan Om Rizal bawa ke kantor, Om Rizal sendiri masih sibuk dengan dasinya. Di meja makan pagi ini, aku tak melihat Sasa. Tadi mbak Rina memang memintanya untuk sarapan, tapi sepertinya Sasa tidak mw ikut sarapan. Mbak Rina tampak sibuk membereskan sisa sarapan di meja makan.
Tak lama aku melihat Sasa turun dari lantai 2, dia t'lah siap berangkat sekolah. Dia cantik, dengan seragam sekolahnya. Rambutnya tergerai sebahu, yach... sebenarnya dia memang manis. Mungkin dia mirip dengan mamanya.
"Sa... kamu ajak bareng Nini ya, kalian kan satu sekolah"
Om Rizal menghentikan langkah Sasa sejenak. Entah mendengar atau tidak, Sasa tak memberi reaksi apapun. Seolah tak ada Om Rizal atau siapapun. Dia langsung keluar tanpa pamit.
"Pak,,, mobilku dah siap?"
kudengar Sasa berteriak pada Pak Iman. Om Rizal sepertinya sudah biasa dengan sikap Sasa yang seperti itu. Aku dan Bunda juga tak banyak bicara.
"ya sudah, kamu bareng papa saja ya"
akhirnya aku ke sekolah diantar papa. Setelah mengantarku, Papa langsung ke kantornya.
Aku tak begitu mengerti dengan sikap Sasa. Dia begitu dingin, seolah di rumah itu tak ada orang lain selain dia. Sejak kepulangannya kemarin, tak ku lihat dia ngobrol sedikitpun. Tidak hanya denganku atau Bunda, tapi juga Om Rizal, papa kandungnya. Dan Om Rizal sendiri, sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan sikap Sasa. Sepertinya Om Rizal sudah sangat terbiasa. Aku jadi semakin ingin tahu mengapa Sasa bersikap seperti itu.
Tadi waktu di mmobil aku sedikit memberanikan diri bertanya pada Om Rizal.
"Pa.. apa Sasa tidak apa2 ada aku dan Bunda di rumah itu"
Om Rizal tampak tersenyum, tapi bukan senyum bahagia, senyum yang terkesan sedikit dipaksakan.
"ada kamu dan Bunda atau tidak, Sasa tetap seperti itu. Anak itu,,, papa sendiri tidak tahu apa mw nya"
"Papa pernah mencoba mengajak Sasa bicara. Emm,,, dari hati ke hati gitu"
Lagi2 Om Rizal hanya tersenyum, sambil terus mengemudi nampak cahayadi matanya sedikit meredup. Aku jadi merasa tak enak dah bicara kaya tadi.
"jangankan bicara Ni, Papa bisa melihat dia saja sudah sangat cukup buat Papa. Sudahlah, jangan terlalu kamu pikirkan sikapnya. Dia anak yang baex, dan papa juga sangat sayang padanya. Entah dia tahu atau tidak"
aku menangkap sebuah nada pasrah disana. Om Rizal, orang yang ku pikir sangat bahagia dengan semua yang dia miliki. Ternyata, aku baru sadar Om Rizal tak lebih dari seorang ayah yang sangat merindukan putrinya. Dia hanya laki2 biasa yang tak bisa mengelak bahwa dia sangat kesepian.
****************
(Jejak Sasa)
Pagi ini, lagi2 aku terbangun tanpa mama. Rasa ini tetap tak bisa hilang walaupun sudah 8tahun berlalu. Entah kenapa, aku merasa sangat kesepian setiap kali ku buka mata ini. Aku benar2 lelah, bahkan aku takut untuk membuka mataku sendiri karena aku tak siap menghadapi kehidupan ini.
Kusingkap tirai di kamarku, mentari begitu hangat dan menyilaukan. Kulihat di halaman Pak Iman mencuci mobilku dan mobil papa. Mobil papa? bahkan aku lupa kalo aku masih punya papa. Mungkin lebih tepatnya, papa memang tak pernah kumiliki. Papa hanya milik mama, dan sekarang milik orang asing yang tiba2 ada di rumah ini.
Dan aku.... aku tak punya siapa2. Tak seorangpun.
"mbak Sasa... ditunggu sarapan sama bapak"
mbak Rina mengetuk pintu dan berseru pelan. Sarapan? sejak kapan?
"aku sarapan di sekolah saja"
"tapi mbak.."
"klek"
aku menutup pintu kamarku lagi sebelum mbak Rina selesai bicara. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan aku tak peduli. Mereka punya kehidupan sendiri, mungkin mereka t'lah menemukan kebahagiaan mereka. Sedang aku, siapa yang mw peduli. Bahkan mamaku juga sudah tak peduli sejak 8tahun lalu. 8tahun? kenapa aku masih harus mengingatnya?
Hari ini, aku harus kembali ke sekolahku. Setelah 3bulan aku di Singapore, aku harus kembali lagi dan menyelesaikan tugasku. Mungkin hanya ini alasan yang membuatku ada saat ini. Karena aku t'lah berjanji pada mama untuk menjadi yang terbaex. Walo mama mengingkari janjinya dengan meninggalkanku sendirian, tapi aku tak mw ingkar janji. Aku akan menepati janjiku menjadi orang yang bisa menolong 'mama-mama' yang lain dari penyakitnya. Agar tak ada lagi 'Sasa-sasa' seperti aku. Sasa yang kesepian, yang tak punya siapapun.
"Sa... kamu ajak bareng Nini ya, kalian kan satu sekolah"
Nini? aku tak kenal anak itu. Lagi pula bukankah aku biasa sendiri. Sejak kapan laki2 yang tak pernah aku panggil Papa lagi ini mw mempedulikanku.
"Pak... mobilku dah siap?"
tanpa ku hiraukan sedikitpun aku masuk mobilku dan melaju ke sekolah. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan tentang aku. Dan aku tak peduli, bukankah mereka juga tak pernah berpikir tentang aku?
************
sekolah masih agak senggang. Ini memang masih pagi, perutku minta diisi. Jam segini kantin juga masih sepi, tapi bukankah aku juga sudah terbiasa sepi.
"brm.. brrm"
suara mobil itu, aku menoleh ke pintu gerbang. Tak salah lagi, seorang gadis seusiaku keluar dari mobil itu. Dia mencium tangan laki2 yang mengantarnya. Sakit,,, entah kenapa, tiba2 terasa sesak. Aku mengenal laki2 itu, tapi aku tak kenal gadis yang bersamanya. padahal baru kemaren aku melihat gadis itu di rumahku, dan sekarang... dia diantar laki2 yang entah kapan terakhir kali aku memanggilnya 'papa'. Aku yang 17tahun tinggal di rumah itu, tak pernah diantarnya. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya duduk di mobil laki2 itu. Aku merasa ini tak adil. Dan bukankah kehidupan ini tak pernah adil untukku?
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYDp4irm69eCQVH1carDDEKJIu4yOtRZpYOpXSOLvApSmZQo608Rvbl6JNekd3Ao9oC9uiF4qH3zKLYgZFzDnk4RVt2rApzYqr5VZzeuG6VV4LkoGyneFDwvsIpcvGhEVU-e5bJSmRE6k/s200/foot.JPG)
(bersambung... Bag. 3)
Pagi ini adalah hari pertama aku masuk sekolah baru. Setelah pindah rumah, akupun juga harus pindah sekolah. Dan papa (Om Rizal) tentunya ingin aku sekolah di tempat yang sama dengan putri tunnggalnya, Sasa. Sekolah yang tidak sembarang anak bisa masuk sekolah ini. SMA Nusa Bangsa.
Bunda tampak sibuk mempersiapkan tas yang akan Om Rizal bawa ke kantor, Om Rizal sendiri masih sibuk dengan dasinya. Di meja makan pagi ini, aku tak melihat Sasa. Tadi mbak Rina memang memintanya untuk sarapan, tapi sepertinya Sasa tidak mw ikut sarapan. Mbak Rina tampak sibuk membereskan sisa sarapan di meja makan.
Tak lama aku melihat Sasa turun dari lantai 2, dia t'lah siap berangkat sekolah. Dia cantik, dengan seragam sekolahnya. Rambutnya tergerai sebahu, yach... sebenarnya dia memang manis. Mungkin dia mirip dengan mamanya.
"Sa... kamu ajak bareng Nini ya, kalian kan satu sekolah"
Om Rizal menghentikan langkah Sasa sejenak. Entah mendengar atau tidak, Sasa tak memberi reaksi apapun. Seolah tak ada Om Rizal atau siapapun. Dia langsung keluar tanpa pamit.
"Pak,,, mobilku dah siap?"
kudengar Sasa berteriak pada Pak Iman. Om Rizal sepertinya sudah biasa dengan sikap Sasa yang seperti itu. Aku dan Bunda juga tak banyak bicara.
"ya sudah, kamu bareng papa saja ya"
akhirnya aku ke sekolah diantar papa. Setelah mengantarku, Papa langsung ke kantornya.
Aku tak begitu mengerti dengan sikap Sasa. Dia begitu dingin, seolah di rumah itu tak ada orang lain selain dia. Sejak kepulangannya kemarin, tak ku lihat dia ngobrol sedikitpun. Tidak hanya denganku atau Bunda, tapi juga Om Rizal, papa kandungnya. Dan Om Rizal sendiri, sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan sikap Sasa. Sepertinya Om Rizal sudah sangat terbiasa. Aku jadi semakin ingin tahu mengapa Sasa bersikap seperti itu.
Tadi waktu di mmobil aku sedikit memberanikan diri bertanya pada Om Rizal.
"Pa.. apa Sasa tidak apa2 ada aku dan Bunda di rumah itu"
Om Rizal tampak tersenyum, tapi bukan senyum bahagia, senyum yang terkesan sedikit dipaksakan.
"ada kamu dan Bunda atau tidak, Sasa tetap seperti itu. Anak itu,,, papa sendiri tidak tahu apa mw nya"
"Papa pernah mencoba mengajak Sasa bicara. Emm,,, dari hati ke hati gitu"
Lagi2 Om Rizal hanya tersenyum, sambil terus mengemudi nampak cahayadi matanya sedikit meredup. Aku jadi merasa tak enak dah bicara kaya tadi.
"jangankan bicara Ni, Papa bisa melihat dia saja sudah sangat cukup buat Papa. Sudahlah, jangan terlalu kamu pikirkan sikapnya. Dia anak yang baex, dan papa juga sangat sayang padanya. Entah dia tahu atau tidak"
aku menangkap sebuah nada pasrah disana. Om Rizal, orang yang ku pikir sangat bahagia dengan semua yang dia miliki. Ternyata, aku baru sadar Om Rizal tak lebih dari seorang ayah yang sangat merindukan putrinya. Dia hanya laki2 biasa yang tak bisa mengelak bahwa dia sangat kesepian.
****************
(Jejak Sasa)
Pagi ini, lagi2 aku terbangun tanpa mama. Rasa ini tetap tak bisa hilang walaupun sudah 8tahun berlalu. Entah kenapa, aku merasa sangat kesepian setiap kali ku buka mata ini. Aku benar2 lelah, bahkan aku takut untuk membuka mataku sendiri karena aku tak siap menghadapi kehidupan ini.
Kusingkap tirai di kamarku, mentari begitu hangat dan menyilaukan. Kulihat di halaman Pak Iman mencuci mobilku dan mobil papa. Mobil papa? bahkan aku lupa kalo aku masih punya papa. Mungkin lebih tepatnya, papa memang tak pernah kumiliki. Papa hanya milik mama, dan sekarang milik orang asing yang tiba2 ada di rumah ini.
Dan aku.... aku tak punya siapa2. Tak seorangpun.
"mbak Sasa... ditunggu sarapan sama bapak"
mbak Rina mengetuk pintu dan berseru pelan. Sarapan? sejak kapan?
"aku sarapan di sekolah saja"
"tapi mbak.."
"klek"
aku menutup pintu kamarku lagi sebelum mbak Rina selesai bicara. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan aku tak peduli. Mereka punya kehidupan sendiri, mungkin mereka t'lah menemukan kebahagiaan mereka. Sedang aku, siapa yang mw peduli. Bahkan mamaku juga sudah tak peduli sejak 8tahun lalu. 8tahun? kenapa aku masih harus mengingatnya?
Hari ini, aku harus kembali ke sekolahku. Setelah 3bulan aku di Singapore, aku harus kembali lagi dan menyelesaikan tugasku. Mungkin hanya ini alasan yang membuatku ada saat ini. Karena aku t'lah berjanji pada mama untuk menjadi yang terbaex. Walo mama mengingkari janjinya dengan meninggalkanku sendirian, tapi aku tak mw ingkar janji. Aku akan menepati janjiku menjadi orang yang bisa menolong 'mama-mama' yang lain dari penyakitnya. Agar tak ada lagi 'Sasa-sasa' seperti aku. Sasa yang kesepian, yang tak punya siapapun.
"Sa... kamu ajak bareng Nini ya, kalian kan satu sekolah"
Nini? aku tak kenal anak itu. Lagi pula bukankah aku biasa sendiri. Sejak kapan laki2 yang tak pernah aku panggil Papa lagi ini mw mempedulikanku.
"Pak... mobilku dah siap?"
tanpa ku hiraukan sedikitpun aku masuk mobilku dan melaju ke sekolah. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan tentang aku. Dan aku tak peduli, bukankah mereka juga tak pernah berpikir tentang aku?
************
sekolah masih agak senggang. Ini memang masih pagi, perutku minta diisi. Jam segini kantin juga masih sepi, tapi bukankah aku juga sudah terbiasa sepi.
"brm.. brrm"
suara mobil itu, aku menoleh ke pintu gerbang. Tak salah lagi, seorang gadis seusiaku keluar dari mobil itu. Dia mencium tangan laki2 yang mengantarnya. Sakit,,, entah kenapa, tiba2 terasa sesak. Aku mengenal laki2 itu, tapi aku tak kenal gadis yang bersamanya. padahal baru kemaren aku melihat gadis itu di rumahku, dan sekarang... dia diantar laki2 yang entah kapan terakhir kali aku memanggilnya 'papa'. Aku yang 17tahun tinggal di rumah itu, tak pernah diantarnya. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya duduk di mobil laki2 itu. Aku merasa ini tak adil. Dan bukankah kehidupan ini tak pernah adil untukku?
(bersambung... Bag. 3)
Komentar
Posting Komentar