HATI SELUAS SAMUDERA #3


Madiun, 8.33 wib
27 April 2011


Sore itu seperti biasa ayah menjemputku dari madrasah dengan sepedanya. Setiap hari rabu dan kamis aku memang sekolah sore di madrasah untuk belajar mengaji. Jarak madrasah dari rumah sekitar 1km melewati pematang sawah yang tampak hijau seperti lapangan bola ketika ditanami padi, dan aku sangat suka sekali melihatnya seolah ingin bermain diatas padi-padi yang belum menguning itu. Sore itu guru kelasku belum juga menutup kelas padahal jam sudah menunjukkan pukul 5sore, aku dah celingak-celinguk melihat keluar kelas apakah ayahku sudah datang menjemput,? ku lihat banyak orang tua yang juga menunggu anaknya di pinggir jalan. Madrasah tempat ku belajar mengaji ini sangat sederhana, tidak seperti kelas-kelas sekolahan pada umumnya. Hanya sebuah aula besar yang biasa disebut pendopo dengan sekat-sekat anyaman bambu untuk membagi kelasnya. Ada 4 kelas di sini, kelas Diniyah yang isinya anak-anak yang sudah lancar membaca al-qur'an, kelas Abdullah yang isinya anak-anak yang baru tamat iqro' 6, kelas Sidiq yang isinya anak-anak usia sekolah dasar dan aku masuk kelas ini, terakhir kelas Amanah yang isinya anak-anak usia taman kanak-kanak dan dibawahnya.
Karena isinya anak-anak semua tentu saja di madrasah ini sering sekali terdengar suara tangis entah dari kelas amanah maupun kelas sidiq, biasanya mereka bermain dengan temannya yang kemudian menjadi serius. Aku sendiri termasuk anak yang pendiam, tapi juga tak pintar. Dibanding teman-teman seusiaku, aku termasuk lambat dalam belajar. Teman-temanku sudah memasuki iqro' 5 dan 6 bahkan ada yang sudah masuk kelas Abdullah dan Diniyah, tapi aku baru iqro' 4 sehingga terkadang aku malu ketika ada anak yang lebih kecil dari aku tapi dia sudah bisa membaca al-qur'an dan masuk kelas abdullah.

setelah ustadz Rafif menutup pelajaran sore itu dengan membaca hamdalah dan doa syukur nikmat dilanjutkan doa perjalanan pulang, secara berebutan aku dan teman-temanku yang lain menjabat tangan dan mengucap salam pada ustad rafif agar bisa pulang pertama. Karena aku perempuan dan anak-anak laki-laki lebih agresif, membuatku pulang diurutan belakang. Aku keluar kelas, ku lihat ayahku sudah menjemputku dengan sepedanya. Aku berjingkat senang mendekati ayah dan ayah langsung menaikkanku di sedel belakang. Aku berpegangan erat pada pinggang ayah. Ayah mengayuh sepeda pelan, aku banyak bercerita sore itu seperti hari-hari sebelumnya. Aku memang selalu menceritakan apapun kejadian yang ku alami pada ayah. Aku sangat senang karena sore tadi aku bisa merampungkan 2halaman iqro' 4 sekaligus. Kata ustad Rafif kalo aku giat belajar aku akan cepat naik iqro' dan menyusul teman-temanku yang lain. Selama ini, semua pelajaran sekolah ayah yang mengajariku, mulai dari membaca dan berhitung sampai segala PR sekolah ayah yang mengajariku. Sebenarnya aku ingin diajari ayah membaca al-qur'an juga, tapi sayang ayah tak begitu pandai baca Al-Qur'an. Walaupun bisa hanya patah-patah dan makhorijul huruf-nya tidak sempurna, padahal ustad Rafif selalu ingin pengucapan yang sempurna, menurutku ini seni yang indah dari membaca Al-Qur'an. Aku senang sekali setiap mendengar orang dengan tartil membaca Al-Qur'an apalagi suaranya terdengar medu dengan seni qiro'ah yang menentramkan hati. Aku ingin bisa masuk kelas diniyah agar bisa belajar seni membaca al-qur'an, yang kudengar selama ini ada beberapa macam irama murottal. Dan sebagian teman-temanku bahkan sudah menguasainya. Aku benar-benar iri dan ingin seperti mereka.
"ayah, ayo ngebut yah..." aku berseru ketika kami melewati pematang sawah, pematang sawah ini memang sedikit lebih luas dari yang lain karena memang untuk dilewati sepeda dan motor. Semburat jingga tampak di ufuk barat, entah mengapa walau sebagian orang menganggap semburat jingga itu mengerikan tapi aku sangat menyukainya. AKu menyukai sesuatu yang berbau alam, hamparan hijaunya padi-padi ini, binatang2 malam yang mulai mencari makan, semburat jingga dilangit temaram, subhanallah....
"baiklah, tapi kau harus pegangan yang kuat" ayah menerima tantanganku.
"hum" aku mengangguk dan memegang kuat pinggang ayah.
"siap,? go...!!!" ayahku mulai mengayuh dengan cepat hingga badanku yang kecil serasa terbawa angin. Hembusan angin ditengah sawah menampar-nampar wajahku, jalanan yang berbatu dan tidak rata membuat tubuhku bergoyang-goyang, tangan-tangan kecilku makin erat memegang pinggang ayah melawan grafitasi bumi yang hendak merenggutku dari boncengan ayah. Adrenalinku terpacu, tapi inilah moment yang tak pernah ingin kulewatkan.
"aaaaarggghhhh..." aku berteriak histeris karena takut dan juga senang. Aku menyukai tantangan. Tapi kesenanganku harus berakhir, ayah memperlambat laju sepedanya. Pematang sawah tertinggal dibelakang dan sekarang kami tak bisa melaju kencang karena masuk jalan desa.
"gimana,? takut,?" ayah tertawa renyah, ah sosok ini selalu membuatku nyaman bersamanya, tak peduli bahaya apapun di depan aku selalu percaya ayah akan melindungiku.
"tidak ayah, aku senang" aku nyengir, pantatku sedikit sakit karena boncengan sepeda ini memang tidak empuk, hanya boncengan biasa dari besi. Tak lama aku melewati sekolah dasarku, aku menatap sekilas. Sekolah dasar ini hanya memiliki 78 siswa dengan 6kelas. Bisa dibayangkan berapa rata-rata siswa tiap kelas,? ya, sangat sedikit. Teman sekelasku saja hanya ada 9orang, 10 orang ditambah aku dan sekarang 11orang karena ada satu tambahan siswa yang tak naik kelas. Banyak sekolah dasar di desaku, sehingga banyak orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di SD yang katanya kualitasnya lebih bagus dari SD-ku ini. Aku sendiri sekolah di sini karena dekat dengan rumahku. Kata ayah, dimanapun aku sekolah, asal aku mau belajar dan berusaha tidak akan kalah dengan yang lain, walaupun lingkungan juga berpengaruh. Kelak, aku yakin sekolah ini akan menghasilkan anak didik yang berhasil dan berguna. Dan benar diakhir aku kelas 6SD dari 11orang siswa ada 7orang yang masuk SMP favorit di kecamatanku.

"mari pak...," aku dikagetkan oleh suara renyah ayah. Ayah menyapa seorang penjual bakso yang tengah bersama gerobaknya.
"eh, iya mari..., jemput si neng pak,?" abang tukang bakso itu membalas sapa ayah.
"iya ini jemput neng, laris ya pak baksonya..." ayahku pelan mengayuh sepeda sehingga masih bisa mensejajari gerobak bakso yang di dorong abang bakso itu.
"amin..., iya pak, moga laris"
"duluan pak.." ayahku menyalip abang bakso itu.
"iya silahkan.." aku menoleh ke abang bakso itu, dia tersenyum wajahnya tampak cerah.
ada sedikit pertanyaan yang ingin kutanyakan pada ayah, aku masih memegang pinggang ayah dengan kedua tanganku, kakiku menggantung karena belum sampai di pijakan kaki sepeda ini. Jalan tak rata kadang membuatku meringis karena pantatku sakit.
"ayah itu tadi siapa,? kok ayah kenal,?" aku iseng bertanya
"dia kan penjual bakso yang tiap sore lewat depan rumah kita nak"
"oya,? kok aku tidak hafal ya,? yang lewat depan rumah kita kan banyak yah, gak cuma satu itu"
"mungkin karena ayah sering liat jadi inget" aku tahu ayah tersenyum walau aku hanya melihat punggungnya.
"nak, dengarkan ayah ya... kita harus berteman dengan siapa saja, tapi kamu harus lebih mengayomi orang yang kurang mampu, dekatkanlah dirimu bersama mereka, sapalah mereka, rengkuhlah bahu mereka... mereka akan merasa senang, jangan sisihkan mereka dari kehidupanmu. Merekalah orang pertama yang harus kamu ingat ketika kamu mendapat kebahagiaan..." aku hanya menatap punggung itu, aku mengangguk. Aku tak tahu mengapa, tapi perkataan ayah selalu menjadi doktrin di otak ku. Punggung itu,... punggung yang setiap hari selalu ku lihat. Punggung yang setiap pagi ku lambaikan tangan mengiringinya berangkat kerja, punggung yang setiap hari menggendongku tanpa lelah, punggung yang selalu melindungiku dari hujan dan angin, punggung yang selalu bisa kupeluk saat ku tidur, punggung yang selalu mampu kuraih saat kuhendak jatuh. Jika aku besar nanti, aku ingin memiliki punggung seperti itu.

"ayo pegangan, ayah akan ngebut biar cepat sampai rumah" aku mengangguk dan menguatkan peganganku. Menempelkan kepalaku pada punggungnya, rasa sakit pantatku tak terasa lagi, rasa takut jatuh dari sepeda tak ada lagi... aku selalu merasa aman dibelakang punggung ini.


Malam itu, sehabis sholat maghrib ayah mengajakku mengaji... aku belajar melafalkan dengan benar tiap huruf yang ada di halaman 20 iqro' 4 ku, kuharap besok sore aku mampu membaca lebih dari satu halaman. Dan ayah, kulihat ayah terbata-bata membaca huruf demi huruf Al-Qur'an ditangannya. Kulihat wajahnya yang serius dengan kacamata plus-nya, sarung dan peci yang digunakan ayah untuk sholat masih melekat, aku tahu ayah membutuhkan waktu lebih dari 2menit untuk satu ayat pendek saja. Kelak, jika aku sudah bisa membaca Al-Qur'an dengan baik, aku akan mengajari ayah membaca Al-Qur'an...,

Komentar

  1. bagus..lanjutkan!!!!xixixi..

    denger tuh ta..kamu harus mengayomi orang yang kurang mampu..

    BalasHapus
  2. hihihi..., kalo cuma teori gw pinter sung ^^
    praktek,? emm..., no comment dulu deh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART