DEANTA (Part. 3)

Part 2 ...

Kebahagiaan itu tiba-tiba lenyap, ketika aku melihat sekitarku. Aku merasa telah berada jauh dari tujuanku. Hatiku mulai mati, sedikit demi sedikit tanpa kusadari jiwaku mulai tak memiliki rasa lagi. Aku kehilangan jati diriku, Deanta yang dulu.

Tak banyak yang berubah sebenarnya, tak ada yang memprotesku atas perubahanku yang tidak terasa. Tapi justru hati ini yang memprotes keras. Aku merasa telah mengkhianati diriku sendiri. Tujuan awalku ke kota adalah untuk mengangkat derajat keluargaku. Membantu meringankan beban ibu dan Kang Yopi, sukur-sukur bisa berbagi dengan orang-orang kurang beruntung dan memajukan tetanggaku. Awalnya aku ingin menjadi malaikat, berhati mulia dengan segala apa yang kupunya. Membagi kebahagiaanku pada mereka, agar mereka bisa ikut bahagia. Tapi aku salah, kehidupanku telah mematikan hatiku. Aku tak lagi peduli dengan semua itu. Bilapun aku peduli, itu hanya tersisa tak lebih dari 10% dari niat awalku. Aku sadar sepenuhnya, tapi tak mau berubah. Itu masalahku.

Aku bahagia, tapi tak sepenuhnya bahagia. Hati kecilku terus berteriak, tersiksa dengan sikapku. Dan aku membiarkannya begitu saja. Aku menutup rapat-rapat pendengaranku, dan mengulas senyum pada bibirku yang sebenarnya juga tak mau.

"nduk, dari mana saja kamu?" ibu tengah menyeduh teh hangat di teko, aku duduk di kursi kayu yang menjerit karena harus menahan berat badanku.

"ke bukit bu, liat anak-anak main bola" aku menyeruput teh dari gelas cokelat kesayanganku, gelas yang berubah warna karena terlalu sering untuk menyeduh teh.

"kamu libur sampai kapan nduk?" ibu duduk di depanku, tangan ibu yang keriput tampak menyentuh gelas teh-nya mencari kehangatan.

"Dea ijin seminggu bu" Aku menjawab ragu.

"Bu... kalau Dea resign gimana? Dea bisa nemenin ibu dan bantu ibu di rumah" aku mulai mengungkapkan keinginanku. Ibu tampak sedikit terkejut.

"kamu gak betah kerja di kota nduk?" seperti biasa ibu selalu bijak dan lembut.

"bukan gak betah bu.... tapi..." aku menggantung kalimatku, ragu. Aku senang bisa kerja di perusahaanku sekarang, semua orang di perusahaan itu sangat baik padaku. Mereka menyayangiku dan membantuku seperti keluarga sendiri. Tapi, aku merasa telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam diriku. Entahlah, aku tak tahu.

"kamu tidak senang kerja di sana?" ibu mencoba menelusuri cara berpikirku.

"tidak juga bu..." aku masih mencari kepastian yang kuinginkan.

"nduk, ibu manut awakmu kalo memang kamu ndak betah dan pengen keluar, ibu tidak apa-apa. Tapi coba kamu pikir dulu, kalo kamu keluar, kamu mau kerja apa di sini? Liat kamu yang sekarang, ibu sudah sangat senang" Ibu menasehatiku. Aku tahu maksud ibu baik. Ibu hanya ingin aku memiliki masa depan yang lebih baik. Aku sendiri tak tahu mau kerja apa di desa ini. Mencari kayu, atau nggarap sawah dan ladang orang apa aku mampu? aku tidak terbiasa kerja sekeras itu. Apalagi kuliahku belum selesai, aku mau melamar kerjaan apa? mengajar anak-anak di surau meskipun aku senang melakukannya, tapi tidak akan memberikan penghasilan yang cukup. Apakah aku siap untuk kembali hidup sederhana dan pas-pasan seperti dulu? Apakah aku siap menjalani kehidupan masa laluku?

"Buk..., apa ibu bahagia hidup seperti ini?" aku ingin tahu. Ibu tersenyum tulus, menatapku dengan sepasang bola matanya yang teduh.

"Ibu bahagia, melihat kamu dan Kakang-mu bahagia. Ibu bahagia, melihat kamu dan Yopi memiliki kehidupan yang lebih baik dari ibu" Jawaban standar yang selalu kudapat dari ibu manapun. Benarkah se-sepele itu kebahagiaan seorang ibu? Apakah ibu tidak perlu apapun selain kebahagiaan anaknya? Lalu bagaimana Ibu akan hidup jika dia tidak memiliki uang untuk makan? Apakah melihat anaknya bahagia sudah cukup membuat ibu kenyang?

"Bu, apa ibu tidak ingin punya kebahagiaan sendiri?" aku usil ingin tahu, sekaligus hanya untuk meyakinkan hatiku.

"Nduk, ibu bohong kalo ibu tidak ingin memiliki kebahagian ibu sendiri...."

......... Part. 4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART