BUKAN SEKEDAR CINTA #4

Madiun,
Jam Makan Siang


Pagi itu, kami sama-sama duduk dengan sangat sopan mendengarkan laki-laki seusia ayahku yang tengah memberikan wejangan kepada kami. Laki-laki dengan jas dan dasi necis itu adalah atasanku. Ini hari pertamaku dan laki-laki disampingku masuk kerja.
"Jadi, kalian berdua sudah saling kenal?" laki-laki yang kemudian kupanggil dengan sebutan pak boss melihat ke arahku dan laki-laki sebayaku yang duduk di sampingku. Kami hanya tersenyum, karena memang kami belum saling kenal. Kami baru bertemu pagi ini, di ruangan ini.
"Kuharap kalian bisa menjadi partner kerja yang kompak. Ingat, kerja sama, motivasi, dan niat dalam bekerja" pak boss menutup ceramahnya pagi ini. Setelah dipersilahkan mulai bekerja, kami keluar ruangan pak boss untuk mulai pekerjaan pertama kami. Ada perasaan berdebar luar biasa, ini adalah hari pertamaku bekerja di perusahaan terkenal. Perusahaan yang banyak diidamkan oleh mahasiswa-mahasiswa yang tengah menempuh studi-nya di luar sana. Aku sendiri tak pernah membayangkan jika aku bisa kerja di tempat ini.

"pfft..." laki-laki yang juga sedari tadi kulihat tak kalah tegangnya denganku terlihat menghela nafas lega. Mungkin dia juga berpikiran sama denganku.
"Jadi... siapa namamu?" dia mengulurkan tangannya. Aku tersenyum, kubalas uluran tangannya.
"Nafsi, kamu?" aku membalas pertanyaannya. Senyum lebarnya menyeriangai menghilangkan rasa sungkanku. "Gavin. Semoga kita bisa menjadi partner kerja yang hebat". Aku mengaminkan dalam hati.

Pekerjaan pertamaku dan Gavin adalah membuat strategi pemasaran yang harus kami presentasikan minggu depan. Pak boss ingin melihat seberapa jauh kemampuan kami dalam bidang ini, apalagi kami masih fresh-graduated yang belum memiliki pengalaman apapun. Hanya sebatas teori yang baru kami pelajari. Untuk itu, aku dan Gavin mulai memikirkan strategi apa yang mampu menarik perhatian pak boss. Meskipun itu adalah hari pertama aku bertemu dan mengenal Gavin, tapi aku sudah cukup nyaman bekerja sama dengannya. Dia yang ternyata memiliki wawasan yang jauh lebih banyak daripada aku, dan aku yang lebih sering menggunakan logikaku seringkali terjadi perdebatan kecil dan tak henti-hentinya. Bisa dibilang kami selalu berdebat dalam masalah menentukan strategi pemasaran yang tepat dan efisien. Bahkan hal sepele pun bisa kami perdebatkan berjam-jam. Aku yang tidak mudah menerima ide orang lain tanpa penjelasan yang meyakinkanku, dan Gavin yang selalu merasa aku terlalu idealis dan teoritis. Meskipun begitu, saat waktu tiba makan siang, kami akan ke kantin bersama dan melupakan perdebatan yang terjadi. Begitulah, aku dan Gavin memulai persahabatan ini.

Seminggu kemudian, setelah melewati banyak perdebatan dengan Gavin, akhirnya kami sepakat dan pak boss terlihat cukup puas dengan hasil presentasi kami. Pak boss manggut-manggut yang diikuti oleh pejabat-pejabat dibawahnya dan karyawan lainnya. Mereka memberikan applaus yang membuat kegugupanku mencair. Kulihat Gavin nampak puas, dia tersenyum ke arahku 'ini hasil kerja keras kita'. Tiba waktu makan siang, seperti biasa aku dan Gavin ke kantin bersama. Kami membicarakan hasil presentasi yang memuaskan.
"Naf, liatkan tadi bagaimana ekpresi pak boss... itu tentu saja karena kamu akhirnya nurut sama ideku," seperti biasa, Gavin selalu menganggap bahwa aku tidak tahu apa-apa.
"Gak juga, ide awalnya kan gak seperti itu. Yang kita presentasikan tadi, jelas itu karena aku memberikan banyak masukan kepadamu. Seandainya kamu masih menggunakan ide original kamu, gak mungkin pak boss sepuas itu" aku kembali membantahnya untuk kesekian kali.
"Emang kamu kontribusi apa di presentasi tadi? Yang ada kamu cuma ngrecokin doang" Gavin kembali menceracau, yang kubalas dengan kicauanku. Begitulah, kami memang sering memperdebatkan hal sepele.

Seminggu, sebulan, setahun... tak terasa aku bekerja di perusahaan ini sudah setahun. Aku dan Gavin yang memang bekerja di bagian yang sama, selalu bertemu setiap hari. Karena kami bekerja sebagai tim, maka kamipun lama-lama menjadi sangat terbiasa dan tak terpisahkan. Setiap pagi, Gavin membawa 2 sarapan untukku dan dia yang memang kami tak pernah sempat sarapan di rumah. Jika tiba jam makan siang, kami juga akan menghabiskan waktu bersama entah makan di kantin atau makan di luar. Sepulang kerja, terkadang kami hangout bareng untuk sekedar beli buku atau nonton. Meskipun kami selalu berdua sepanjang hari, bukan berarti kami tak pernah bertengkar lagi. Justru karena kami memiliki karakter yang berbeda, kami sering berdebat dalam banyak hal. Soal pekerjaan, sudah tentu kami akan memperdebatkannya hingga kami sepakat ide siapa yang akan kami gunakan, soal obrolan biasa, kami akan memperdebatkannya sampai pendapat siapa yang paling bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima. Bahkan saat membaca buku yang sama sekalipun kami akan berdebat dalam mengatakan buku tersebut bagus atau tidak. Herannya, meskipun setiap hari kami berbeda pendapat, persahabatan kami tak pernah pudar sedikitpun. Hingga suatu hari, pak boss mengatakan bahwa Gavin akan dipromosikan naik jabatan. Kebetulan pak boss baru saja meresmikan anak perusahaan barunya di luar negeri, karena itu pak boss mempercayakan jabatan itu kepada Gavin.
"Gavin, saya sangat senang melihat hasil kerjamu. Karena itu, sebagai bentuk apresiasi saya terhadap kinerja kamu, saya bermaksud memberikan tugas baru yang tentunya kamu akan sangat senang dengan tugas ini" Gavin yang sedang berada di ruangan pak boss tampak sangat antusias.

Keluar dari ruangan pak boss, Gavin tidak bercerita apapun terhadapku. Dia lebih banyak diam. Pulang kerja, dia mengajakku untuk menemaninya mencari pesanan ibunya.
"Naf..." Aku masih sibuk memilihkan barang untuk ibunya. Gavin hanya berdiri di sisiku. Pertama kali aku memilihkan barang untuk ibunya dulu, aku dan Gavin berdebat lama karena seleraku dan dia memang berbeda. Akhirnya waktu itu Gavin membeli pilihannya, aku menyerah saja karena toh memang itu untuk ibunya, dia yang lebih tahu selera ibunya tapi esok harinya Gavin mengajakku lagi mencari barang yang sama karena katanya bukan yang seperti kemarin yang dimaksud ibunya. Ketika akhirnya aku yang memilihkan barang untuk ibunya, ibunya bilang itulah yang dimaksud ibunya. Sejak saat itu, Gavin selalu mengajakku setiap kali mencari barang pesanan ibunya.
"mm..." aku menjawab pendek, masih sibuk memilih barang.
"Naf.., pak boss memberiku promosi jabatan" Gavin tampak ragu-ragu mengucapnya. Aku menghentikan sejenak aktifitasku. Kutatap Gavin yang agak bengong melihatku tiba-tiba menatapnya.
"Itu bagus... Selamat ya... berarti hari ini kamu traktir aku ya" kupikir itu kabar yang baik. Aku ikut senang mendengarnya.
"Tapi... tidak di perusahaan ini..."Gavin samar-samar menghentikan kegembiraanku. Deg!!! aku tak tahu kenapa ada perasaan takut dalam hati kecilku.
"Dimana?" aku spontan bertanya.
"Aussie" Gavin menjawab lirih. Aku tersenyum dengan berat, entah kenapa mendengar kata itu jantungku sedikit tak karuan.
"Aussie? itu luar biasa... aku juga ingin pergi ke sana" aku menjawab pelan. Gavin tersenyum menenangkanku.

Seminggu kemudian, Gavin benar-benar pindah ke negeri kangguru tersebut. Aku membantunya mengemasi meja kerjanya dan mengantarnya ke rumahnya. Dia bilang dia akan berangkat hari Selasa, kubilang aku ingin mengantarnya ke bandara, tapi apa boleh buat jam kerja perusahaan tidak menolerir karyawannya untuk keluar selain jam makan siang dan memang ada tugas di luar perusahaan.
"Jangan khawatir, aku pasti bisa menyusulmu ke sana. Doakan saja" aku memberi semangat pada Gavin. Gavin tersenyum.
"Tentu. Kerja yang baik ya. Jangan karena gak ada aku, kamu jadi seenaknya sendiri" Gavin menceramahiku, padahal selama ini dialah yang suka seenaknya sendiri.


 Tiga hari sejak Gavin tidak bekerja lagi di tempat yang sama denganku, entah kenapa untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan kehilangan seseorang. Aku merindukan perdebatan kecilku dengannya. Meskipun aku dan dia masih sering berkomunikasi melalui telepon, tapi lama-lama komunikasi itu hilang. Gavin terlalu sibuk dengan tugas barunya. Dan aku juga terlalu sibuk mengurus pemasaran perusahaan yang ternyata partner kerjaku yang baru tidak sepandai Gavin. Aku harus bersusah payah memecahkan masalah dan mencari solusinya sendirian.

Empat tahun kemudian, akhirnya aku bisa bertemu dengan Gavin kembali. Aku terbang ke Aussie dalam rangka program pasca sarjana-ku yang tentunya juga dibiayai dari perusahaan. Gavin menjemputku di bandara. Aku membayangkan bagaimana pertemuanku dengan Gavin nantinya. Di pintu kedatangan international, kulihat sosok Gavin yang tak banyak berubah, selain sekarang dia terlihat jauh lebih mature.
"Nafsi..." Gavin melambaikan tangannya. Aku tersenyum dalam hati, tentu saja karena aku sudah melihatnya tanpa perlu dia berteriak dan melambaikan tangannya. Gavin menyambutku dengan membantu membawa tasku.
"Apa kabar Naf? Gak nyangka ya kamu akhirnya nyusul aku ke sini" Gavin masih sama seperti dulu. Aku bahagia bisa mendengar ocehannya.
"Kenapa? Kamu gak yakin aku bisa ke sini? Kamu kira kamu doang yang bisa jalan-jalan ke Aussie" aku rindu memperdebatkan hal-hal kecil dengan Gavin.
"Kamu Naf, masih saja mempermasalahkan hal sepele" Gavin terlihat malas menanggapi
"Aku? Kamu kali" aku membalasnya
"Sudahlah, gak usah bahas kek gitu" Gavin nampak benar-benar malas berdebat. Aku diam. Mungkin waktu memang telah berjalan, mungkin waktu telah membuat Gavin lebih dewasa. Tapi tahukah waktu bahwa aku rindu berdebat dengan laki-laki di sampingku ini? Tahukah waktu bahwa aku benar-benar telah menunggu selama 4tahun hanya untuk berdebat dengan laki-laki ini?

"Kamu tinggal di mana?" aku mengalihkan pembicaraan.
"Di apartemen perusahaan, dimana lagi?" Gavin tersenyum sambil memasukkan barangku ke bagasi mobilnya.
"Oya Naf, mampir apartemen dulu ya, aku ada kejutan buat kamu" Gavin mulai menstarter mobilnya.
"Kejutan apa?" bodoh. Tentu saja Gavin tak akan menjawabnya, namanya kejutan pasti tidak akan diberitahu sebelum aku melihatnya sendiri.
"Ada deh..." Gavin tersenyum. Selain sifatnya yang memang friendly kurasa sedikit banyak Gavin lebih dewasa dibandingkan 4 tahun lalu.

Apartemen ini cukup mewah, bersih, dan nyaman. Sebelum masuk, harus melewati beberapa keamanan. Aku tahu tentu saja Perusahaan sekelas milik pak boss tidak akan main-main dengan fasilitas yang diberikan kepada karyawannya. Gavin membuka pintu apartemennya yang tidak dikunci.
"Masuk Naf...." Gavin mempersilahkanku masuk. Ruang tamu yang harum dan terlihat bersih serta rapi.
"Aku gak percaya kamu serapi ini Gavin" aku nyeletuk kagum akan kerapian dan kebersihan apartemennya.
"hehehe..." Gavin hanya cengengesan. Aku duduk di sofa yang empuk, melepas lelah. Gavin sepertinya ke dapur. Tak berapa lama dia kembali dengan seorang perempuan cantik berparas Indonesia-Australia yang membawa minuman di nampan. Ada perasaan yang tak kumengerti saat melihat perempuan itu. Aku bengong.
"Naf... kenalin, ini calon istriku. Rika. Kami akan menikah 5 bulan lagi" Gavin tampak tersenyum bahagia, diikuti senyum perempuan disampingnya yang meletakkan minum di meja. Aku masih terdiam. Aku tak pernah tahu perasaan ini. Ada perasaan bahagia, juga perasaan sedih.
"Aku sengaja mau kasih kamu kejutan dengan pernikahanku. Kamu pasti gak percaya kalau aku bisa dapatin perempuan secantik Rika" Gavin tampak sangat bahagia. Aku tersenyum dalam pikiranku sendiri 'Tentu saja kamu bisa dapetin perempuan secantik Rika, aku tak akan heran'.

Aku menghabiskan waktu 2tahun di Aussie dengan banyak hal. Mengulangi kembali perdebatan kecilku dengan Gavin. Membantu Gavin dan Rika mempersiapkan pernikahan mereka, yang tentu saja dilaksanakan di Indonesia. Hingga terakhir sebelum aku kembali ke Indonesia, aku menyaksikan kelahiran malaikat kecil dalam keluarga Gavin dan Rika. Aku tak pernah menyangka bahwa perasaan ini tak pernah berubah. Aku sempat berpikir mungkin aku akan menjadi canggung dengan Gavin, Kenyataannya Gavin masih menjadi rekan kerja yang cerdas dan juga sahabat yang suka memperdebatkan hal-hal kecil, meskipun sekarang Gavin memang lebih dewasa dengan lebih sering mengalah padaku. Dan aku mendapatkan seorang sahabat perempuan yang selalu membelaku dan membantuku berdebat dengan Gavin, yaitu Rika.

Waktu, terkadang aku tak mengerti apa maksudmu
Kau biarkan aku terperangkap dalam pesonamu
Waktu, pernahkah ada yang bertanya padamu
Pernahkah ada yang luput dari penglihatanmu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART