DOMINO EFFECT
Wahai
hati yang tak pernah kumengerti
Bisakah
kau memberitahukan padaku maksudmu
Jangan
biarkan aku bertanya tanpa jawaban
(Part. 1)
Tok tok tok.
Tok tok tok.
Huft.
Aku menghela nafas jengkel. Siapa yang menggangguku di tengah deadline kerjaan
seperti ini. Tak mengertikah dia bahwa aku benar-benar memerlukan konsentrasi
penuh pada tumpukan-tumpukan berkas di mejaku. Leherku bahkan mulai terasa
sakit. Mungkin kelelahan di depan komputer.
“Ya.
Masuk” aku mempersilahkan masuk tanpa melihat siapa yang membuka pintu ruanganku.
Aku masih fokus pada komputer dan tumpukan berkas yang harus kuselesaikan sore
ini juga.
“maaf
Bu, mengganggu....” aku melirik sebentar ke arah suara itu. Pak Fadan,
laki-laki kurus kecil yang sudah penuh uban itu masuk ke ruanganku. Aku tidak
merasa memesan kopi atau teh, juga belum ingin pesan makan siang, tapi Pak
Fadan yang berstatus office boy di
kantor ini masuk ke ruanganku. Aku melirik jam di meja kerjaku, masih pukul
10.45 WIB masih jauh dari waktu makan siang.
“Ya
pak... ada apa?” aku hanya sebentar melihat ke arahnya, dan kembali pada layar
komputerku. Tidak sopan memang, tapi kalau tidak begini pekerjaanku tidak akan
selesai. Pak Fadan tampak ragu-ragu duduk di kursi depan meja kerjaku.
“Bu
Diana sibuk?” Pak Fadan masih ragu-ragu. Aku memiliki feeling yang kurang baik. Kuhentikan sejenak aktifitasku demi
menghormatinya sebagai orang yang lebih tua dariku.
“Ada
apa pak?” aku menatap ke arah Pak Fadan yang tampak kikuk.
“mmm...
begini Bu Diana...” aku masih menatap ke Pak Fadan yang tampak ragu-ragu.
“saya
gak enak mengatakannya Bu... tapi...”
aku menghela nafas mulai tidak sabar. Tak bisakah langsung ke pokok masalah.
Aku banyak pekerjaan.
“saya
mau pinjam uang....” yups. Bingo. Tebakanku ternyata benar. Sudah kuduga dari
bahasa tubuhnya.
“Berapa
pak?” aku mencoba mempersingkat urusan agar segera bisa kembali bekerja.
“20juta
Bu...” Pak Fadan agak ragu, aku bengong. Dua puluh juta? Are you serious?
“Dua
puluh juta? Buat apa pak?” aku masih berhitung dengan segala kemungkinan.
“itu...
anu... jadi begini Bu Diana, anak
saya minta dibelikan motor buat sekolah. Naik angkot katanya sering terlambat,
kalau ada ekskul di sekolahan
pulangnya sering tidak dapat angkot” Pak Fadan menjelaskan tanpa berani
menatapku, aku kembali berhitung dengan banyak hal.
“hmm...
Coba nanti saya pertimbangkan ya pak...” aku menyudahi obrolan ini.
“iya
Bu Diana... terima kasih” Pak Fadan pamitan. Aku kembali fokus pada komputerku,
tapi tidak benar-benar fokus. Dua puluh juta. Bukan masalah uangnya, tapi
masalah bisakah Pak Fadan kupercaya? Aku manajer di perusahaan ini, sedangkan
ayahku adalah direktur utamanya. Tidak. Tentu saja aku berada di posisiku
sekarang bukan karena ayahku. Aku memulai semua dari bawah. Sebelumnya aku
pernah bekerja di perusahaan lain sebagai karyawan biasa. Karirku berjalan
baik, ilmu yang kuperoleh dari pendidikan formal ditambah ilmu dari pengalaman
ayahku membuatku dipercaya oleh atasanku sebelumnya. Setelah itu, ayahku
memintaku keluar dari perusahaan tempatku bekerja untuk mengisi formasi
perusahaan ayah. Tentu saja aku juga harus melewati serangkaian tes seperti
yang lain. Aku tidak mau dibilang kalau aku hanya nebeng nama ayahku. Dua puluh juta bukan jumlah yang besar buatku.
Gajiku sebulan lebih dari itu. Tapi buat Pak Fadan, dua puluh juta tidak akan
terkumpul dengan gajinya setahun. Masalahnya di sini adalah kebiasaan Pak Fadan
yang suka meminjam uang untuk memanjakan anak-anaknya. Pak Fadan sering
meminjam uang padaku, juga pada yang lain. Aku sendiri tak pernah bisa menolak
setiap ada orang yang datang padaku meminta bantuan. Tapi kali ini, aku harus
kembali memikirkannya. Apakah aku membantunya berbuat baik, atau hanya
membantunya memanjakan anaknya yang entah sampai kapan akan terus seperti ini.
Ayahku sejak kecil sudah mengajariku untuk berusaha. Tidak semua keinginanku
dipenuhi. Bahkan aku ingat waktu masih duduk di SMA, aku harus naik angkot saat
mobilku dipakai teman laki-lakiku untuk balap mobil liar dan berakhir di
bengkel. Aku dimarahi habis-habisan dan harus menanggung sendiri biaya
perbaikan mobil. Alhasil, aku bekerja part-time
sebagai office girl untuk bisa
mengganti kerusakan mobilku. Sedangkan teman laki-lakiku entah kemana tidak
bertanggungjawab sama sekali terhadap mobilku. Sejak itu, aku tahu betapa
susahnya mencari uang. Aku belajar menghargai setiap rupiah yang ada, belajar
hidup bermasyarakat di angkot. Hikmahnya, aku bertemu orang-orang luar biasa
yang mengajariku tentang makna hidup selama aku naik angkot. Aku juga belajar
untuk tidak menggubris dan tidak malu
dengan keadaanku. Teman-temanku yang notabene
anak-anak sosialita tentu saja melihatku sebelah mata saat mengetahuiku naik
angkot. Semua predikat cewek populer yang kuraih hilang begitu saja. Dan
lagi-lagi aku belajar bahwa aku tidak membutuhkan predikat apapun dari orang
lain. Aku hanya harus percaya pada kemampuanku, belajar menghargai orang lain,
belajar hidup untuk membawa manfaat bukan untuk menjadi benalu. Seharusnya Pak
Fadan bisa mendidik anak-anaknya untuk hidup lebih sederhana sesuai dengan
kemampuan orang tuanya. Tidak perlu malu dengan keadaan keluarga kita sendiri.
Bukankah hari ini buah dari hari kemarin? Dan hari esok tak pernah ada yang
tahu. Seharusnya Pak Fadan bisa melihat kemampuannya sendiri dan mendidik
anak-anaknya untuk tidak manja. Entahlah...
Aku
ingat beberapa waktu lalu Pak Fadan juga meminjam uang padaku. Sepuluh juta.
Untuk membayar sekolah anaknya. That’s fine.
Tapi akhirnya menjadi tidak baik saat aku tahu uang itu hanya untuk membelikan
anaknya laptop. Yang sebenarnya menurutku terlalu berlebihan karena laptop yang
dia beli adalah laptop keluaran terbaru dengan harga yang juga baru. Sedangkan
dengan fungsi yang sama bisa saja Pak Fadan membelikan anaknya laptop dengan
harga yang jauh lebih murah. Aku kadang minta pendapat teman-temanku yang
mengenal Pak Fadan, atau pendapat ayahku. Tidak masalah jika niat kita baik
untuk membantu, tetapi jika kita terus membantu dengan cara seperti itu
bukankah akhirnya kita hanya ikut melakukan hal yang tidak baik dan ikut
menambah beban hutang Pak Fadan. Yeah,
benar juga. Mungkin ini saatnya aku mulai tegas pada diriku sendiri, juga
belajar untuk melihat situasi siapa dan untuk apa pertolongan kita. Lebih
banyak membawa manfaat atau tidak.
Esoknya,
aku memanggil Pak Fadan ke ruanganku. Pak Fadan tampak sumringah.
“Siang
Bu Diana...” Pak Fadan masuk ke ruanganku. Berkas-berkas di mejaku sudah mulai
berkurang.
“Siang
Pak... Silahkan duduk” aku mempersilahkan Pak Fadan duduk. Aku menatap Pak
Fadan, meyakinkan diriku sendiri apa yang harus kulakukan.
“Begini
Pak... sebelumnya saya minta maaf, masalah Pak Fadan mau pinjam uang kepada
saya, saya tidak bisa memenuhinya Pak” aku mulai pembicaraan, raut muka Pak
Fadan sedikit mengerut.
“tapi
saya ada kalau sepuluh juta pak... mungkin Pak Fadan bisa membelikan motor bekas untuk putra Pak Fadan. Yang penting
sama-sama bisa digunakan ke sekolahkan Pak?” aku membuat keputusan. Tentu saja
aku bukan orang yang bisa menolak mentah-mentah permintaan dari orang lain. Pak
Fadan sedikit lega, tapi juga ada keraguan kutangkap. Mungkin ini di luar
perkiraannya.
“bagaimana
Pak?” aku memastikan kepada Pak Fadan.
“eh,
iya Bu Diana... tidak apa-apa, terima kasih banyak. Maaf, saya selalu
merepotkan Ibu” Pak Fadan tampak tulus menyampaikannya. Aku tersenyum. Terima
kasih juga pak, memberi saya kesempatan untuk berbuat baik.
-----
Seminggu
kemudian.
sketch at pasir putih beach |
Aku
lega, pertemuanku berjalan lancar. Klien juga tidak marah saat aku terlambat
beberapa menit karena macet. Aku segera melajukan Lexus IS menuju kantor. Masih ada hal yang harus kuselesaikan di
kantor. Sesampainya di kantor, kembali Allah swt membuktikan kuasa-Nya.
Komentar
Posting Komentar