DOMINO EFFECT




narsis ah... ^_^
Madiun,
Wahai hati yang tak pernah kumengerti
Bisakah kau memberitahukan padaku maksudmu
Jangan biarkan aku bertanya tanpa jawaban

(Part. 1)


Tok tok tok.
Huft. Aku menghela nafas jengkel. Siapa yang menggangguku di tengah deadline kerjaan seperti ini. Tak mengertikah dia bahwa aku benar-benar memerlukan konsentrasi penuh pada tumpukan-tumpukan berkas di mejaku. Leherku bahkan mulai terasa sakit. Mungkin kelelahan di depan komputer.
“Ya. Masuk” aku mempersilahkan masuk tanpa melihat siapa yang membuka pintu ruanganku. Aku masih fokus pada komputer dan tumpukan berkas yang harus kuselesaikan sore ini juga.
“maaf Bu, mengganggu....” aku melirik sebentar ke arah suara itu. Pak Fadan, laki-laki kurus kecil yang sudah penuh uban itu masuk ke ruanganku. Aku tidak merasa memesan kopi atau teh, juga belum ingin pesan makan siang, tapi Pak Fadan yang berstatus office boy di kantor ini masuk ke ruanganku. Aku melirik jam di meja kerjaku, masih pukul 10.45 WIB masih jauh dari waktu makan siang.
“Ya pak... ada apa?” aku hanya sebentar melihat ke arahnya, dan kembali pada layar komputerku. Tidak sopan memang, tapi kalau tidak begini pekerjaanku tidak akan selesai. Pak Fadan tampak ragu-ragu duduk di kursi depan meja kerjaku.
“Bu Diana sibuk?” Pak Fadan masih ragu-ragu. Aku memiliki feeling yang kurang baik. Kuhentikan sejenak aktifitasku demi menghormatinya sebagai orang yang lebih tua dariku.
“Ada apa pak?” aku menatap ke arah Pak Fadan yang tampak kikuk.
“mmm... begini Bu Diana...” aku masih menatap ke Pak Fadan yang tampak ragu-ragu.
“saya gak enak mengatakannya Bu... tapi...” aku menghela nafas mulai tidak sabar. Tak bisakah langsung ke pokok masalah. Aku banyak pekerjaan.
“saya mau pinjam uang....” yups. Bingo. Tebakanku ternyata benar. Sudah kuduga dari bahasa tubuhnya.
“Berapa pak?” aku mencoba mempersingkat urusan agar segera bisa kembali bekerja.
“20juta Bu...” Pak Fadan agak ragu, aku bengong. Dua puluh juta? Are you serious?
“Dua puluh juta? Buat apa pak?” aku masih berhitung dengan segala kemungkinan.
“itu... anu... jadi begini Bu Diana, anak saya minta dibelikan motor buat sekolah. Naik angkot katanya sering terlambat, kalau ada ekskul di sekolahan pulangnya sering tidak dapat angkot” Pak Fadan menjelaskan tanpa berani menatapku, aku kembali berhitung dengan banyak hal.
“hmm... Coba nanti saya pertimbangkan ya pak...” aku menyudahi obrolan ini.
“iya Bu Diana... terima kasih” Pak Fadan pamitan. Aku kembali fokus pada komputerku, tapi tidak benar-benar fokus. Dua puluh juta. Bukan masalah uangnya, tapi masalah bisakah Pak Fadan kupercaya? Aku manajer di perusahaan ini, sedangkan ayahku adalah direktur utamanya. Tidak. Tentu saja aku berada di posisiku sekarang bukan karena ayahku. Aku memulai semua dari bawah. Sebelumnya aku pernah bekerja di perusahaan lain sebagai karyawan biasa. Karirku berjalan baik, ilmu yang kuperoleh dari pendidikan formal ditambah ilmu dari pengalaman ayahku membuatku dipercaya oleh atasanku sebelumnya. Setelah itu, ayahku memintaku keluar dari perusahaan tempatku bekerja untuk mengisi formasi perusahaan ayah. Tentu saja aku juga harus melewati serangkaian tes seperti yang lain. Aku tidak mau dibilang kalau aku hanya nebeng nama ayahku. Dua puluh juta bukan jumlah yang besar buatku. Gajiku sebulan lebih dari itu. Tapi buat Pak Fadan, dua puluh juta tidak akan terkumpul dengan gajinya setahun. Masalahnya di sini adalah kebiasaan Pak Fadan yang suka meminjam uang untuk memanjakan anak-anaknya. Pak Fadan sering meminjam uang padaku, juga pada yang lain. Aku sendiri tak pernah bisa menolak setiap ada orang yang datang padaku meminta bantuan. Tapi kali ini, aku harus kembali memikirkannya. Apakah aku membantunya berbuat baik, atau hanya membantunya memanjakan anaknya yang entah sampai kapan akan terus seperti ini. Ayahku sejak kecil sudah mengajariku untuk berusaha. Tidak semua keinginanku dipenuhi. Bahkan aku ingat waktu masih duduk di SMA, aku harus naik angkot saat mobilku dipakai teman laki-lakiku untuk balap mobil liar dan berakhir di bengkel. Aku dimarahi habis-habisan dan harus menanggung sendiri biaya perbaikan mobil. Alhasil, aku bekerja part-time sebagai office girl untuk bisa mengganti kerusakan mobilku. Sedangkan teman laki-lakiku entah kemana tidak bertanggungjawab sama sekali terhadap mobilku. Sejak itu, aku tahu betapa susahnya mencari uang. Aku belajar menghargai setiap rupiah yang ada, belajar hidup bermasyarakat di angkot. Hikmahnya, aku bertemu orang-orang luar biasa yang mengajariku tentang makna hidup selama aku naik angkot. Aku juga belajar untuk tidak menggubris dan tidak malu dengan keadaanku. Teman-temanku yang notabene anak-anak sosialita tentu saja melihatku sebelah mata saat mengetahuiku naik angkot. Semua predikat cewek populer yang kuraih hilang begitu saja. Dan lagi-lagi aku belajar bahwa aku tidak membutuhkan predikat apapun dari orang lain. Aku hanya harus percaya pada kemampuanku, belajar menghargai orang lain, belajar hidup untuk membawa manfaat bukan untuk menjadi benalu. Seharusnya Pak Fadan bisa mendidik anak-anaknya untuk hidup lebih sederhana sesuai dengan kemampuan orang tuanya. Tidak perlu malu dengan keadaan keluarga kita sendiri. Bukankah hari ini buah dari hari kemarin? Dan hari esok tak pernah ada yang tahu. Seharusnya Pak Fadan bisa melihat kemampuannya sendiri dan mendidik anak-anaknya untuk tidak manja. Entahlah...

Aku ingat beberapa waktu lalu Pak Fadan juga meminjam uang padaku. Sepuluh juta. Untuk membayar sekolah anaknya. That’s fine. Tapi akhirnya menjadi tidak baik saat aku tahu uang itu hanya untuk membelikan anaknya laptop. Yang sebenarnya menurutku terlalu berlebihan karena laptop yang dia beli adalah laptop keluaran terbaru dengan harga yang juga baru. Sedangkan dengan fungsi yang sama bisa saja Pak Fadan membelikan anaknya laptop dengan harga yang jauh lebih murah. Aku kadang minta pendapat teman-temanku yang mengenal Pak Fadan, atau pendapat ayahku. Tidak masalah jika niat kita baik untuk membantu, tetapi jika kita terus membantu dengan cara seperti itu bukankah akhirnya kita hanya ikut melakukan hal yang tidak baik dan ikut menambah beban hutang Pak Fadan. Yeah, benar juga. Mungkin ini saatnya aku mulai tegas pada diriku sendiri, juga belajar untuk melihat situasi siapa dan untuk apa pertolongan kita. Lebih banyak membawa manfaat atau tidak.

Esoknya, aku memanggil Pak Fadan ke ruanganku. Pak Fadan tampak sumringah.
“Siang Bu Diana...” Pak Fadan masuk ke ruanganku. Berkas-berkas di mejaku sudah mulai berkurang.
“Siang Pak... Silahkan duduk” aku mempersilahkan Pak Fadan duduk. Aku menatap Pak Fadan, meyakinkan diriku sendiri apa yang harus kulakukan.
“Begini Pak... sebelumnya saya minta maaf, masalah Pak Fadan mau pinjam uang kepada saya, saya tidak bisa memenuhinya Pak” aku mulai pembicaraan, raut muka Pak Fadan sedikit mengerut.
“tapi saya ada kalau sepuluh juta pak... mungkin Pak Fadan bisa membelikan motor bekas untuk putra Pak Fadan. Yang penting sama-sama bisa digunakan ke sekolahkan Pak?” aku membuat keputusan. Tentu saja aku bukan orang yang bisa menolak mentah-mentah permintaan dari orang lain. Pak Fadan sedikit lega, tapi juga ada keraguan kutangkap. Mungkin ini di luar perkiraannya.
“bagaimana Pak?” aku memastikan kepada Pak Fadan.
“eh, iya Bu Diana... tidak apa-apa, terima kasih banyak. Maaf, saya selalu merepotkan Ibu” Pak Fadan tampak tulus menyampaikannya. Aku tersenyum. Terima kasih juga pak, memberi saya kesempatan untuk berbuat baik.

-----

Seminggu kemudian.
sketch at pasir putih beach
Jalanan selalu macet saat jam makan siang. Aku ada meeting dengan klien. Aku sengaja tidak membawa driver. Aku terbiasa mandiri. Sayangnya, jalanan siang ini lebih macet dari biasanya. Aku sudah terjebak selama 15 menit. Sepertinya di depan ada kecelakaan lalu lintas. Aku mulai tidak sabar. Kulihat ada petugas yang sedang mengatur lalu lintas, kubuka kaca mobilku dan iseng bertanya. “Ada apa pak? Kok tumben macet sekali” polisi yang tengah mengatur lalu lintas dengan ramah menjawabku “ini mbak, ada kecelakaan. Ada orang tertabrak truk” innalillahi wa innaillaihirojiun. Aku tidak berani mengganggu pekerjaan polisi tersebut, aku mengikuti petunjuknya untuk segera melajukan kendaraanku bergegas menuju tempat pertemuanku dengan klien.

Aku lega, pertemuanku berjalan lancar. Klien juga tidak marah saat aku terlambat beberapa menit karena macet. Aku segera melajukan Lexus IS menuju kantor. Masih ada hal yang harus kuselesaikan di kantor. Sesampainya di kantor, kembali Allah swt membuktikan kuasa-Nya.

-tbc- 

selanjutnya Part. 2 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART