HATI SELUAS SAMUDERA #10

Pantai Pasir Putih, Trenggalek
Madiun,
Mencoba mencari harapan dari setiap cobaan
Tetap saja dalam tawa mengalir air mata
seluas itu-pongki barata 

"meet up yuk.." tanpa berpikir dua kali kureply sms dari Pia. Aku tak pernah bisa menolak ajakannya. Bukan karena apa-apa, tapi karena bagiku dia sahabat yang selalu ada buatku, kapanpun, dalam keadaan apapun. Sore ini, sepulang dari kantor aku melajukan outlander sport kesayanganku. Soal yang ini, banyak yang bilang pilihanku terlalu macho untuk perempuan sepertiku. Apa boleh buat, aku suka petualangan. Sekitar lima belas menit aku sampai di salah satu rumah teh favoritku dan Pia biasa nongkrong

Aku melihat Pia sudah menunggu bersama seseorang. Mungkin temannya. Aku menghampiri mereka. "hai... sorry telat, baru bisa cabut nih agak rempong di kantor" aku menyapa Pia yang tengah menyeduh ice chocolate tea dengan kayu manis, yang sebenarnya jarang dia pesan. Aku mengambil kursi di depannya, melambaikan tangan pada waiter. Memesan camomile tea favoritku.
"Hai Ly, lama tak jumpa...." aku tersentak dengan sapaan itu. Ya, aku melupakan seseorang yang di samping Pia. Aku melihat ke arahnya, perempuan dengan rambut sebahu terurai, wajah tirusnya masih tidak berubah, cantik walau terlihat lebih tua dan tidak sesegar dulu. Aku agak canggung, nervous, sedikit tidak nyaman. "eh... hai..." aku gagu. Pia melihat keraguanku "ehem... kek ketemu mantan aja sih, kalian temen sekelaskan dulu?" seperti biasa Pia selalu mampu mencairkan suasana, meskipun aku masih merasa kikuk. Aku tersenyum, berusaha menghilangkan kecanggunganku. "enak aja, gue kaget aja... lama banget gak ketemu Dian" aku mulai membiasakan diri. Dian kulihat tersenyum wajar, mungkin aku yang terlalu berlebihan. "sibuk ya Ly sekarang.... sampai lupa sama kita-kita" Dian masih sama seperti dulu, suka menyindirku. "Gak juga sih, gue masih sering kok hangout sama Pia, sama beberapa temen sekolah dulu kalau weekend masih suka maen, lu aja yang gak tahu" aku menepis tuduhan itu. Dian sedikit menekuk wajahnya, ada rasa enggan. "Apa kabar lu? Sibuk apa sekarang?" aku berusaha mencairkan suasana, toh memang kami lama tidak bertemu. "Masih gini-gini aja Ly,... gak kek elu sudah sukses sekarang" ada wajah yang tidak kupahami di sana. Aku hanya tersenyum, mencoba bersikap biasa "Alhamdulillah... asal ada kemauan pasti ada jalan. Rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau, ya gak?" Dian tersenyum mendengarnya. Aku juga mulai terbiasa kembali dengan situasi ini. Kami bertiga bicara banyak hal, mengingat cerita sekolah hingga kabar teman-teman sekolah sekarang. Aku sendiri tidak menyangka kalau ternyata Pia dan Dian menjadi sangat dekat. Seingatku dulu, mereka tidak begitu dekat hanya sebatas sama-sama satu sekolah. Entah sejak kapan Pia dan Dian menjadi dekat. Kami menghabiskan waktu 2jam lebih hanya untuk minum teh. Kalau bukan karena Dian harus bekerja, mungkin kami masih betah berlama-lama. 

Pia nebeng sampai rumah, dia bilang kalau suaminya tidak bisa menjemputnya karena masih di kantor. Kebetulan aku tidak ada acara jadi bisa santai mengantarnya pulang meskipun harus putar arah. "Lu deket sama Dian?" aku penasaran. "emm... gimana ya, biasa aja sih tapi emang gue dan Dian masih suka komunikasi, jalan bareng, kadang-kadang dia dan pacarnya maen ke rumah juga" aku masih fokus pada jalanan sembari menyimak ucapan Pia. "Lu masih sakit hati sama Dian?" Pia seolah membaca arah pembicaraanku. Pia tahu banyak hal tentangku, aku selalu menceritakan apapun padanya. "gak juga sih, gue cuma masih ingat apa yang dia bilang sama gue dulu..." aku kembali mengingat masa sekolahku. Aku yang hanya anak seorang pegawai negeri biasa, sedangkan Dian yang anak seorang pejabat. Aku sendiri tidak pernah tahu kenapa dulu Dian tidak menyukaiku. Yang kuingat bahwa Dian tidak menyukaiku karena aku tidak berpenampilan seperti dirinya dan geng-nya. Mereka yang selalu bau parfum, cantik, rapi, sepatu bermerk, tas bermerk sedangkan aku hanya seorang gadis biasa yang serba biasa. Seragam standar dari sekolah, parfum alami dari badanku, dan tentu saja aku tidak bisa seperti mereka yang suka nongkrong di kantin menghabiskan uang jajan dari orang tua mereka. Aku tidak pernah ingat jika aku pernah menyakitinya, aku hanya ingat bahwa dia tidak menyukaiku dan sering mengatakan hal yang menyakitiku, dan merendahkanku. Awalnya aku tidak begitu menanggapinya, tapi lama-lama aku mulai gerah. Dalam hati aku mulai membencinya sedikit demi sedikit, membuatku ingin membuktikan bahwa aku bisa lebih baik dari dirinya. Dan sekarang, semua sudah mulai terlihat. Bahkan aku yakin kalau Dian sekarang sudah mulai mengakui keberadaanku di dunia yang tidak pernah bisa kita tebak akhir ceritanya.

Pantai Teleng Ria, Pacitan
"Manusia itu diciptakan dengan perasaan yang luar biasa ya... hanya saja, terkadang kita tidak pernah menyadari bahwa kita ini luar biasa" Pia menatap jalanan, mata tajamnya mulai melunak. Mungkin hatinya juga. Aku membunyikan klakson kencang, sedikit membanting setir menghindari seorang pengendara motor. "Sembrono amat sih tuh orang... SIM-nya nembak ya" aku sewot. Pia menatapku penuh tanda tanya. "Apa?" aku melihat ada yang tak biasa dari tatapannya. "Lu yang kagak sabar... orang tua tuh..." Pia justru menyalahkanku. Aku nyengir, mungkin Pia benar. Aku yang terlalu mengebut. Pia kembali menyandarkan bahunya, menatap jalanan yang mulai padat di sore hari. Aku mengemudi lebih kalem. "Maksud lu apaan?" aku mulai kembali ke topik. "Jelas lu yang buru-buru, lagian tadi tuh orang tua, wajar kalau naik motornya agak lambat... harusnya lu kasih jalan, kasian tau" Pia ternyata masih gak ngeh kalau aku mengembalikan topik pembicaraan. "Heh? bukan ituuuuu duduuuuuul..." aku setengah berteriak, jengkel. "Hah?" Pia masih belum mengerti juga. Aku cuma diam menatapnya sinis. "Hahahaha.... iya deh iya... kirain lu masih bahas bapak-bapak pengendara motor tadi" Pia tertawa melihatku jengkel. "Luar biasa gimana maksud lu?" aku kembali fokus pada suasana sore yang tak lepas dari hilir mudik kendaraan. Lelahkah jalanan ini menjadi tumpuan beban kendaraan-kendaraan yang melewatinya setiap hari tanpa henti. Seandainya bisa bicara, akankah jalanan ini mengeluh.

"Manusia memiliki perasaan cinta, benci, sombong, sedih, bahagia, marah, dan banyak perasaan lainnya. Masing-masing memiliki caranya sendiri untuk mengekpresikan perasaan itu. Bahkan kita bisa menyimpan perasaan itu tanpa diketahui orang lain. Itu luar biasa kan?" Pia bercerita dengan wajah yang cerah, dia tampak sangat mengagumi kemampuan luar biasa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Aku hanya manggut-manggut menyimak, belum paham arah pembicaraannya. "Tapi, manusia sering menggunakan perasaannya tidak pada tempatnya. Kenapa kita tidak melihat sisi positif dari kejadian yang kita alami, sedangkan di Al-Quran, di kitab-kitab manapun, di seminar motivasi, bahkan di status media sosial yang kita buat sering sekali kita jumpai kata-kata positif thinking. Hanya sekedar teori yang terbuang percuma. Sayang banget..." Pia menatap seorang tuna wisma di traffic light. Aku konsentrasi pada kemudi, sekaligus pada pembicaraan ini. Aku mulai siaga mempersiapkan pertahanan diri dalam obrolan ini, bersiap jika ada serangan yang meruntuhkan pertahananku. Pandangan Pia masih tak teralihkan dari tuna wisma itu, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi aku tahu, apa yang saat ini sedang kupikirkan. Positif thingking, sisi lain dari kejadian yang kualami. Sel-sel otakku bekerja lebih keras untuk mencernanya. Dian, aku, Pia, dan positif thingking. Semua bayangan masa lalu kembali berputar seperti pita film. Lily seorang gadis sederhana, dengan mimpi yang sederhana. Dian seorang gadis luar biasa dengan mimpi yang luar biasa. Tidak ada yang salah. Hanya saja semua menjadi salah ketika si gadis luar biasa dengan mimpi yang luar biasa mulai mengganggu si gadis sederhana, bahkan merendahkan mimpi sederhana si gadis sederhana. Dan semuanya terlihat membanggakan bagi si gadis sederhana ketika mimpi sederhananya menjadi kenyataan yang luar biasa, dan si gadis luar biasa harus menjadi gadis di luar biasa tanpa bisa meraih mimpi luar biasanya. Bukankah Tuhan selalu adil pada kita... Ini benar-benar sangat adil. Perasaan ini, tidak pernah kumengerti. Aku bahagia dengan keadilan yang Tuhan berikan. Ataukah aku hanya sombong dengan apa yang Tuhan berikan padaku. Entahlah.

"Ly..." suara Pia mengembalikanku. "ya.." aku melihat Pia mulai memutar musik kesukaannya. Selera musikku dan Pia tidak jauh berbeda. "Hari ini ada, karena ada hari kemarin".
"I know that..." aku memastikan perkataan Pia.
"Kenapa lu menganggap gue teman terbaik lu?" Pia tersenyum menatapku, sambil menggerakkan tangan dan kepalanya mengikuti irama musik.
"Karena lu selalu ada buat gue. Lu baik sama gue, lu mengerti gue, lu mengajari gue banyak hal" kujawab sekenanya, sebenarnya ada banyak alasan kenapa Pia kuanggap sahabat terbaik.
"Lu salah.... gue gak sebaik itu..." Pia membantah begitu saja. "Jujur... gue baik karena gue merasa nyaman dengan bersikap seperti itu. Gue baik bukan untuk lu, tapi untuk gue sendiri".
"Maksud lu?" aku tak paham.
"Yaaaa.... perasaan gue gak nyaman saat gue menyakiti orang lain, gue merasa bersalah dan terus memikirkannya. Karena itu, gue menghindari berbuat hal yang menyakiti orang lain. As simple as that..." aku masih tidak memahami Pia.
"Itu karena hati lu baik Pi..."
"masak sih? Tapi bukankah orang baik itu kadang menyebalkan? Dia tidak bisa jujur terhadap kekurangan orang lain, hanya karena dia tahu bisa menyakiti orang tersebut"
"maksud lu?"
"coba lu pikir... siapa orang yang seharusnya lu ucapin makasih atas kehidupan lu sekarang?" Pia mulai membuat teka-teki.
"jelas lu lah..."
"why?"
"karena lu banyak bantuin gue, mulai dari minjemin duit buat bayar kuliah, berbagi uang saku buat makan anak kos akhir bulan, lu selalu support gue saat gue ada masalah"
"yaelah Ly... kan gue dah bilang, gue berbuat kek gitu karena memang gue merasa nyaman berbuat baik sama orang lain"
"trus, mau lu siapa yang gue ucapin makasih? Dian?" aku nyeletuk mulai frustasi dengan pembicaraan ini.
"Bingoooo...!!! that's right...!!!" Pia menjentikkan jarinya, wajahnya cerah.
"hah? kagak salah lu?" aku masih tak paham.
Pantai Goa Cemara, Bantul
"Itulah sempurnanya Allah swt Ly... Dia memberikan jalan lewat siapapun, dimanapun, kapanpun... Allah swt memotivasi lu lewat Dian. Kenapa? karena Allah swt tahu gue gak mungkin bisa memotivasi lu. Kenapa lagi? karena gue terlalu baik. Gue gak akan bisa berkata menyakiti lu yang sebenarnya perkataan yang lu anggap menyakiti itu adalah motivasi. Karena sikap Dian yang menyebalkan menurut lu, akhirnya lu berkeinginan untuk menjadi lebih baik dari Dian. Berusaha mengejar mimpi lu lebih keras, biar orang lain gak merendahkan lu lagi. Biar gak ada 'dian-dian' yang lainnya. Coba kalau yang ada cuma 'pia-pia' seperti gue. Lu akan merasa berada di zona nyaman. Mengejar mimpi lu sebatas kemampuan biasa lu, toh... lu hidup biasa-biasa aja masih banyak orang kek gue yang siap bantuin lu, lu butuh duit gue pinjemin, lu ada masalah gue bantuin, akhirnya lu gak ada motivasi buat lebih baik. Lu juga gak ada rasa ingin bersaing lebih baik dari gue...." Pia ceramah panjang lebar sama dengan luas.
"tapiiiiii.... kalau gak ada orang seperti gue, hidup ini yang ada cuma bersaing dan saling membenci. Mungkin disinilah peran gue. Pembawa kedamaian.... hahahaha" seperti biasa, Pia selalu punya kejutan dengan memuji dirinya sendiri.
"songong lu... trus peran gue apa?" aku kembali nyaman dengan obrolan ini.
"peran lu... emmm...." Pia pura-pura berpikir lama. Aku mulai tidak sabar.
"apaan woiiii..."
"Sabar 'napa bu...." Pia nyengir.
"Lu adalah pemeran utamanya Ly..." Pia tersenyum.
Aku merasakan kata-katanya bukan sekedar kata-kata manis untuk tidak menyakitiku, tapi ucapan yang tulus dari seorang sahabat. Aku terdiam sesaat. Pemeran utama....
"fiuuuuuh...." aku menghela nafas. "Kenapa lu gak bilang dari dulu? Sang pembawa kedamaian..."
"hahahaha... gak usah rese' deh" Pia terbalas. Thanks Allah swt, You send me people like them...


“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At-Tin: 4)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART