IBU


Madiun,
ku terus berlari, dan tak 'kan berhenti
dan tetap berlari....
terus berlari-Judika

"aku ingin pulang ke rumah orang tuaku..." malam itu adalah malam aku merasa sangat lelah sepanjang hidupku. Suamiku yang baru pulang kerja cukup terperanjat. Aku tahu tak seharusnya aku mengatakan hal ini. Tapi aku benar-benar lelah. Lelah dengan semua kehidupanku. Aku menyerah.
Suamiku tampak terkejut. Suamiku seorang yang sangat sabar, tapi terkadang juga temperamental.
"kenapa?" suamiku bertanya.
ibu-ibu dw bersiap baksos
"aku capek hidup seperti ini mas... aku sudah tidak tahan lagi...." bulir air mataku merambah ujung mataku. "aku capek setiap hari harus berhutang hanya untuk makan, aku capek hidup kita tidak berubah... aku sudah kenyang hidup prihatin bersamamu... belum lagi omongan tetangga terhadapku,..." aku benar-benar lelah. Bukan aku tak bersyukur, aku selalu berusaha bersyukur. Berapapun uang yang diberikan suamiku, aku selalu berusaha menggunakannya sebaik mungkin. Tapi gaji yang tidak seberapa, hutang dimana-mana, setiap hari harus berhutang ke warung tetangga untuk bisa makan. Terlebih lagi, aku sering berbohong pada dua anakku, Nadia dan Fadil saat mereka meminta sesuatu. Aku bersyukur memiliki anak-anak yang mengerti keadaan orang tuanya. Diusia mereka yang masih duduk di sekolah dasar, mereka sudah bisa kuajak hidup sederhana. Terkadang mereka hanya bisa makan nasi dan tempe goreng saja. Itupun aku memilih untuk tidak makan.

Suamiku sebenarnya seorang yang bertanggung jawab. Dia bukan orang yang bermalas-malasan. Selain pekerjaannya, dia juga sering mencari pekerjaan tambahan. Tanpa rasa malu dan gengsi, suamiku mau bekerja kasar sebagai kuli bangunan jika diperlukan. Tapi penghasilan yang tidak seberapa, ditambah hutang kami ke bank untuk membangun rumah, mau tidak mau kami harus hidup seadanya. 'bagaimana dengan anak-anak" suamiku masih mencoba bersabar. "aku akan membawa mereka" aku tak mau meninggalkan anak-anakku. "kau tidak bisa melakukannya. Mereka harus sekolah" suamiku mulai emosi. "Mereka akan sekolah di kampung orang tuaku, aku akan menyekolahkan mereka di sana" aku berteriak emosi, bulir-bulir bening berjatuhan. Aku tidak tahan lagi hidup seperti ini. "huh... sekolah di sana? bagaimana mungkin kamu akan membiayai mereka? kamu mau kerja apa?" suamiku tidak mempercayaiku. "apapun... setidaknya aku bisa hidup bersama orangtuaku" aku tidak peduli dengan keraguan suamiku. "Orangtuamu? orangtuamu saja untuk hidup harus susah payah ke sawah, bagaimana bisa kamu berpikir untuk membebani mereka? kamu hanya perlu sabar bu... sabar...!!! yang penting kita hidup prihatin, kelak percaya padaku kita bisa hidup bahagia" suamiku mencoba menenangkanku. "sabar? aku kurang sabar gimana pak? orang menghina aku, mengejek kita... aku diam saja. Hutang di sana-sini, setiap ketemu hanya ditagih dan aku diam saja. Bahkan anak-anak bisa makan sehari sekali saja aku sudah bersukur. Tapi aku sudah capek pak... aku capek... aku gak tahan seperti ini terus..." aku tergugu, terduduk lemas. Kutelungkupkan kedua tanganku pada wajahku, aku ingin berteriak, aku ingin mengeluh... tapi pada siapa?

Fida, cute girl. Putri teman kantor.
"aku sudah tidak tahan lagi pak... aku ingin pulang ke rumah orang tuaku" kutepis tangan suamiku yang berusaha menenangkanku. Ada perasaan bersalah, ada ego yang tak bisa kubantah, ada perasaan putus asa. Aku tak mengerti. "Bu... yang sabar, semua pasti bisa kita lewati..." suamiku berusaha merengkuh bahuku. Aku tergugu. Dadaku mulai terasa sesak. "Bu...." suamiku berusaha menenangkanku, memelukku. "aku tidak kuat lagi pak... biar aku mati saja..." entah kenapa kata itu keluar begitu saja, dadaku terasa sangat sesak. Sakit. Kejadian ini, bukan hanya sekali ini saja. Aku sering bertengkar dengan suamiku karena masalah yang sama. Aku sesenggukan, dadaku semakin sakit, bahkan aku merasa kesusahan untuk bernafas. "Bu... bu..." suamiku tampak panik. Aku samar-samar melihat bayangan suamiku, dan Nadia... Nadia, anak pertamaku. Gadis kecil berusia 9tahun. Entah sejak kapan dia berada di depan pintu kamarnya. Apakah dia memang belum tidur? Dadaku semakin sakit, kepalaku pusing, dalam setengah sadar kumasih mampu melihat Nadia yang sesenggukan menangis, mendekatiku. Memelukku seraya berkata "Ibu... Selamat ulang tahun. Nadia sayang Ibu. Jika Nadia besar nanti, Nadia janji akan mencari uang yang banyak untuk Ibu. Agar Ibu tidak menderita lagi..." aku tergugu tak berdaya, bahkan aku lupa jika hari ini adalah ulang tahunku. Kuraih Nadia sekuat yang aku bisa, kupeluk erat Nadiaku. Nak, seandainya engkau tahu betapa ibu sangat menderita melihatmu seperti ini, ingin rasanya ibu mengembalikanmu ke rahim ibu agar kau tidak hidup seperti ini. Kepalaku terasa sakit, dadaku sesak, badanku menggigil, kulihat wajah Nadia dan suamiku yang mulai samar. Ya Rabb, jika Engkau memberiku kesempatan sekali lagi... biarkan mereka tetap menjadi suami dan anak-anakku. Karena aku tahu aku lemah tanpa mereka. Berikan aku kekuatan-Mu untuk bersabar, demi tangan-tangan mereka yang tak pernah lelah menyentuh dan menguatkanku, aku akan belajar menjadi lebih kuat. Belajar menjadi lebih tangguh, dan belajar meyakini-Mu.


Wahai Subuh...
Aku cemburu padamu, kenapa kau selalu dirindukan
Kau hadir dengan banyak keajaiban
Membuatku tak mampu untuk tak mencintaimu

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART