CELOTEH 2 HATI #5
![]() |
pict from www.jagatspot.com |
Embun... Kenapa aku malas menyapamu hari ini
Adakah yang salah denganmu? Atau aku?
Tak peduli apa atau siapa, aku hanya ingin kau tak membenci....
Pertengkaran itu terjadi begitu saja dalam kediaman. Aku sendiri sudah merasakan ada jarak yang memisahkan sejak beberapa hari lalu. Pemicunya apa, aku tak mengerti. Yang aku tahu, baik diriku, dirimu, maupun dirinya semuanya merasa terluka. Terluka dengan luka masing-masing. Sebenarnya, semua tidaklah serumit ini. Hanya kita yang membuatnya rumit.
"lu benar-benar sudah tidak bertegur sapa dengannya?" pagi itu aku menghampiri Theodore sembari membawa secangkir kopi. Menenangkan.
"dengannya siapa?" entah memang tak tahu atau pura-pura tidak tahu, Theo asyik dengan keyboard dan jemari-jemarinya. Aku menarik kursi, duduk di depan meja kerjanya sembari menyesap kopi robusta di cangkirku. Melegakan.
"Siapa lagi... Dhiandra-lah" aku antusias, kepo, penasaran, apapun itu namanya. Theo hanya tersenyum kecil melirikku dengan ujung matanya. "Kenapa? mau tahu aja... atau mau tahu banget" oke, untuk kali ini aku mulai manyun. Theo tidak peduli. "Gak mau tahu.." aku ngeloyor pergi dengan bibir manyun. "Hei..." Theo memanggilku, aku menoleh 'apa'. "Kopi lu ketinggalan Ge..." senyum jahilnya membuatku salah tingkah, pengen banget nimpuk kertas ke muka Theo. Urung. Mengambil kopi di meja Theo, dan pergi. Theo cengengesan bahagia.
Aku berpas-pasan dengan Dhiandra saat hendak ke pantry. Seperti hari-hari sebelumnya, Dhiandra selalu tampak ceria menyapaku. "Pagi-pagi dah ngopi aja Ge..." aku tersenyum "biar gak ngantuk Dhi..."
"Sudah sarapan?" Dhiandra sepertinya belum sempat sarapan. "Nih... sarapan gue" aku mengangkat cangkir kopi di tangan. "ke kantin aja yuk..." belum sempat aku menjawab, Dhiandra sudah menarik lenganku. Aku menurut. Kata pak ustadz, tidak baik menolak rejeki. Kantin sepagi ini sudah penuh dengan karyawan yang belum sempat sarapan di rumah. Aku mengambil tempat agak ujung bersama Dhiandra. Semangkok bubur ayam kesukaanku tampak lezat menggoda, Dhiandra memilih untuk sarapan dengan nasi rawon, makanan khas Jawa Timur. "Lu yang bayarin kan?" aku memastikan sebelum menyantap bubur ayam yang mengepul, membuat perutku berontak minta diisi. Dhiandra mendelik ke arahku "Enak aja... bayar sendirilah" Dhiandra protes. "kan tadi lu yang ngajakin gue" kali ini aku yang protes. Dhiandra menyeringai, tapi itu tandanya dia setuju untuk mentraktirku. Aku tersenyum "tengkyu Dhian....". Dhiandra tak memperhatikanku, mulai menyantap rawonnya.
"lu kenapa sama Theo" aku mencoba membuka obrolan pagi. Dhiandra menatapku serius, berpikir. Melanjutkan makan. "Dhiiii...." aku mulai gemas dengan dua sahabatku ini. Baik Theodore maupun Dhiandra sama-sama selalu menganggapku anak kecil yang tidak perlu tahu apapun. "nggak ada apa-apa" Dhiandra tidak menatapku sama sekali. "bohong...." aku mulai manyun. "gue lihat, kalian akhir-akhir ini gak saling sapa, gak saling bicara, diem-dieman kek anak kecil" kali ini aku menyampaikan apa yang kulihat. Sebenarnya aku sedikit tahu masalah mereka, Theo sempat cerita. Tapi rasanya tidak fair kalau aku hanya tahu cerita dari satu sisi. Bagiku mereka berdua sama-sama sahabatku, aku mengenal mereka dengan baik. Dhiandra mengelap mulutnya dengan tisu. Menatapku, menatap bubur ayamku yang masih separo lebih. "Theo sudah cerita ke lu?" Dhiandra akhirnya mulai tertarik pada obrolanku. Aku menggeleng. Berbohong. Dhiandra hanya manggut-manggut. Tak lama aku mendengar helaan nafasnya. Mungkin dia masih mempertimbangkan baik buruknya cerita masalahnya kepadaku. "Ge... lu tahu gue, lu juga tahu Theo kan?" Dhiandra membuatku kembali bersemangat, antusias dengan ceritanya. "lu tahu gue gak akan memulai kalau tidak ada yang memulai duluan. Lu tahu, kemampuan seseorang buat bersabar itu terkadang ada batasnya. Lu tahu kan apa yang dikatakan Theo ke gue... meskipun itu hanya becanda, tapi itu tidak di situasi yang tepat Ge... gue capek, sangat capek... capek fisik dan pikiran..." Dhiandra berusaha setenang mungkin menceritakan apa yang dia rasakan. Aku tahu, aku mulai mengerti. "Mungkin... Theo tidak tahu kalau lu sedang capek Dhi..." aku berusaha netral. Dhiandra tersenyum, senyum keraguan "Mungkin... setelah kemarin Theo jelas-jelas tahu gue sibuk dengan urusan pekerjaan di perusahaan, sibuk dengan urusan rumah tangga gue, sibuk dengan urusan keluarga gue... dan segala tetek bengek yang jelas-jelas gue sempat cerita ke dia... masih saja dia becanda di situasi seperti itu? mengatakan hal yang sensitif buat gue..." Dhiandra mungkin ada benarnya. Aku hanya diam. "Ge... gue sebenarnya bisa memaafkan, asalkan dia sungguh-sungguh minta maaf, mendekati gue duluan... Lu tahu, gue gak bisa kalau harus pura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini masalah harga diri" Aku hanya tersenyum kecil. Harga diri. Tak tahu harus bicara apa. Aku memahaminya. Sangat memahami. Semua masalah jelas di mataku. Tapi aku tak menemukan solusi, kenapa? Karena solusi itu ada pada diri mereka masing-masing. Aku menghabiskan sarapanku dengan banyaknya kata yang terus berputar di otakku.
Siang itu, selepas meeting dengan beberapa klien Theodore menghampiriku. Mengajakku lunch di tempat favorit kami, tentu saja aku menawarkan untuk mengajak Dhiandra karena biasanya kami pergi bertiga. Theo hanya mengiyakan saja dengan embel-embel 'ajak aja kalo mau, kalo kagak mau ya udah'. Alhasil, ketika aku mengajak Dhiandra makan siang bareng, Dhiandra menolak dengan alasan masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dan memang ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. "Sampai kapan sih, kalian mau kek gini. Anak kecil aja 'bis berantem masih mau main bareng-bareng... Malah suka lupa kalau mereka baru saja berkelahi sampai menangis" aku mencoba memprotes sikap dua sahabatku. "Gue sih biasa aja Ge... Lu tahu sendiri, Dhian yang gak mau diajak makan bareng." Theodore membela diri. "Lu sudah minta maaf sama Dhian?" aku menyelidik. "Udah..." Theo santai menjawab. "Trus?" aku masih mencari jawaban. "Dia bilang gak masalah... Udah dimaafin katanya" Theo masih asyik dengan ginger tea yang dia pesan. "Usaha lu kurang kali..." aku masih belum puas. "Usaha gimana? Lu kan tahu kita temenan sudah lama. Sudah paham satu sama lain, Dhian tahu gue suka becanda. Biasanya juga gue becandain kek gitu Dhian biasa aja" Theo masih sibuk mengaduk gula batu. "Lu juga harusnya tahu kalo Dhiandra sedang banyak pekerjaan dan masalah... Gak seharusnya lu bicara seperti itu kan?" Aku mencoba membuat Theo mengalah. "Ge... Kalau gue tahu situasinya seperti itu, gak mungkin gue bicara sembarangan seperti kemarin. Masalahnya gue pikir Dhian juga bakal paham kalau gue cuma becanda. Lagipula, dia bisa bicara baik-baik. Tidak harus balas bicara hal kurang menyenangkan ke gue kan? Lu kira cuma Dhiandra saja yang sakit hati sama ucapan gue, gue juga sakit hati sama ucapan Dhiandra" Theo memberikan alasannnya. Dan aku cuma diam, aku memahaminya juga. Sangat memahami. "Terus mau lu gimana?" Aku mencoba mencari pemecahan. "Gue gak ada masalah apapun Ge... Kalau Dhiandra bersikap biasa saja sama gue, gue juga biasa saja sama dia. Tapi kalau gue yang harus mendekati dia lebih dulu, itu susah Ge... gue sudah minta maaf, gue sudah berusaha bersikap biasa. Tapi sikap dia masih seperti itu, gue punya harga diri" Theodore sama seperti Dhiandra dimataku. Mereka sama-sama memiliki 'harga diri' yang tinggi. Aku hanya senyum, diam. Menikmati chamomile tea dan menghirup aromanya. Menenangkan. Selain kopi, aku juga penikmat teh. Selalu ada ketenangan saat aku menikmati keduanya apalagi dinikmati sembari berbincang ringan bersama orang-orang terdekat.
![]() |
pict from http://kids.nationalgeographic.com |
Aku tidak memihak siapapun. Baik Theodore maupun Dhiandra, aku memahami rasa sakit hati mereka. Aku memahami 'harga diri' mereka. Tapi tahukah mereka bahwa aku juga merasakan luka di hati. Luka yang sama seperti yang mereka rasakan, bahwa aku juga terluka karena aku memahami situasinya, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa diam, memilih membiarkan mereka dengan keputusan yang mereka ambil. Aku menyesap chamomile tea di depanku. Menenangkan.
Menyelami samudera tidaklah seberapa menakutkan...
Yang menakutkan adalah menyelami hati manusia...
Karena ketika aku sudah mulai memasukinya,
aku tak akan pernah bisa kembali....
"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
(Q.S Al-Baqarah : 263)
Komentar
Posting Komentar