BUKAN SEKEDAR CINTA #7
halte transjogja |
Madiun,
Apakah kau
pernah melihat bintang di siang hari…
Katakan
padaku seberapa indah bintang itu…
Aku ingin
tahu….
“Sorry…
I’m late” aku bergegas menghampiri teman-temanku yang tengah jenuh
menunggu. Mencoba tersenyum dengan senyum terbaik agar mereka tak marah.
“selalu… seperti biasakan” Hanna melihatku
sambil cemberut. Nisa dan Rian hanya menghela nafas. “Udah jam setengah tujuh nih.
Buruan gih” Rian mulai naik ke bus
yang ada di depan kami, diikuti Hanna, Nisa, dan tentu saja aku paling akhir.
Namaku Erin, siswi SMA Parangen kelas
XI. Hanna, Nisa, dan Rian adalah sahabatku yang selalu setia menungguku setiap
akan berangkat sekolah. Karena usia kami belum genap 17 tahun, orang tua kami
melarang kami mengendarai sepeda motor ke sekolah sehingga setiap pagi kami
harus menunggu bus di halte dekat rumah kami. Dan aku adalah orang yang paling
sering datang terakhir. Tidak efisien memang, saling menunggu. Tetapi begitulah
kami, anak perempuan. Sangat suka berkumpul bersama, pergi bersama, yang
mungkin bagi anak laki-laki kami seperti tidak memiliki privacy. Kakakku yang mengatakan hal itu. Kakakku seringkali protes
atas ketidak simple-an kami. Anak
perempuan suka berlebihan, suka tergantung satu sama lain, suka ribet, suka
tidak efisien, dan hal-hal lain yang bagi kakakku sangat merepotkan dan tidak
akan dilakukan anak laki-laki. Kami menyebutnya persahabatan, sedang kakakku
menyebutnya ketergantungan. Aku suka tertawa sendiri jika mengingat
perdebatanku dengan kakakku, yang dalam hati kecilku sebenarnya membenarkan
perkataan kakakku. Yeah, kami sekumpulan anak perempuan yang suka tidak praktis
atas nama persahabatan.
Aku mengambil tempat agak di tengah,
duduk bersebelahan dengan Hanna. Nisa dan Rian duduk di kursi depan kami. Aku
menoleh ke belakang, menatap sekilas kursi paling belakang dekat pintu. Hanya
beberapa detik saja, dan aku kembali fokus ke depan sembari tersenyum sendiri.
Hanna menyikut lenganku pelan, membuatku menoleh padanya. Hanna tersenyum
melirikku, diikuti suara cekikikan dari Nisa dan Rian yang duduk di depanku.
Aku bisa melihat mereka melirik ke arahku dari kaca spion sopir bus. Aku
manyun, berusaha menyuruh mereka diam. Mau tahu kenapa? Tentu saja karena yang
kupastikan duduk di kursi belakang bus ini adalah anak laki-laki yang entah
sejak kapan sering satu bus dengan kami. Namanya? Aku bahkan tidak tahu. Dia
bukan siswa sekolah kami, tapi kami setiap pagi selalu melihatnya duduk di
kursi yang sama. Dia pendiam, kadang aku suka tak sengaja bertatap mata
dengannya. Aku segera mengalihkan pandanganku, malu ketahuan. Aku sendiri
lama-lama hafal kebiasaannya. Dia selalu ada di halte tempat kami menunggu bus
ketika aku datang. Kata teman-temanku, dia biasanya datang sekitar pukul 06.00
pagi. Aku tidak tahu alasannya, tapi aku tahu dia sering naik ke bus yang sama
dengan bus yang kami tumpangi. Mungkin aku yang ke-GR-an merasa bahwa dia
sengaja menunggu kami naik bus. Aku sendiri, entah sejak kapan mulai
bersemangat setiap pagi untuk naik bus. Bahkan, jika aku tak melihatnya aku
merasa enggan untuk naik bus.
Perjalanan kami tidak terlalu lama,
sekitar 10-15menit. Saat aku turun dari bus, aku sering diam-diam melihat
kearah anak laki-laki itu. Tak jarang aku mendapatinya mengalihkan pandangan pura-pura
tidak melihatku. Aku suka tersenyum sendiri jika melihat hal itu. Kami segera
masuk ke gerbang sekolah, menuju kelas kami masing-masing. Kebetulan, aku tidak
sekelas dengan Hanna, Nisa, maupun Rian. Hanya Nisa dan Hanna yang satu kelas.
Di kelas, aku punya sahabat dekat bernama Nina. Dia teman sebangkuku.
“Rin, udah ngerjain tugas dari Pak Beni?” Nina tampak sedang sibuk
menyalin tugas dari buku salah seorang teman.
“Oh
My God…. Aku lupa…!!!” aku buru-buru mengeluarkan buku pelajaran Kimia dan
ikut menyalin tugas yang diberikan Pak Beni, guru yang killer tapi juga sangat menyenangkan. Aku menyukai pelajaran Kimia
karena cara mengajar Pak Beni yang menurutku sangat membantuku untuk memahami
pelajaran itu.
Pelajaran hari itu berlalu seperti
biasa, aku selalu mampu mendapatkan nilai yang cukup baik di mata pelajaran
Kimia, tapi selalu mendapatkan nilai yang buruk di mata pelajaran Biologi.
Alasannya sederhana, karena Pak Hengki guru Biologi di kelas kami tidaklah
terlalu menarik untuk disimak. Pak Hengki lebih suka bicara sendiri dan
membuatku tidak tertarik mengikuti pelajarannya. It’s my bad point.
pengarahan kakanwil (office) |
“Nin, ke perpus yuk… Aku belum bikin
tugas Bahasa Indonesia” aku mengajak Nina ke perpustakaan sekolah saat jam
istirahat. Ada tugas Bahasa Indonesia yang belum kukerjakan untuk jam kedua
setelah istirahat siang ini. “Ah, lu
Rin…. Kebiasaan deh” Nina mengomel
atas kebiasaan burukku ini, mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah. Aku Cuma
nyengir aja, tak membantah sedikitpun. Aku mencari beberapa literatur untuk
tugas Bahasa Indonesia. Nina kulihat asyik mencari beberapa novel.
“Erin…” aku menoleh saat mendengar
suara yang begitu familiar. “Kak Anang…” anak laki-laki yang menyapaku
tersenyum. Namanya Anang, siswa kelas XII, kakak kelasku. Aku mengenalnya sejak
pertama masuk sekolah ini. Dia tetangga Nina. Tak ada yang istimewa, tapi dia
termasuk siswa yang cerdas. Dan aku selalu mengagumi laki-laki cerdas. Dimataku
seorang laki-laki itu terlihat keren ketika dia pintar dan berwawasan.
“Sendirian?” kulihat ditangan Anang ada sebuah buku tentang partikel, aku tidak
begitu memahami. “Eh… nggak kak, sama Nina” aku mengarahkan pandanganku ke arah
Nina yang masih sibuk memilih beberapa buku. Anang melihat ke arah pandanganku.
“Belum ngerjain tugas?” Anang
menebak. “Hehehe….” aku cuma bisa tertawa pelan, malu. Bahkan Anang yang kakak kelasku saja sampai
tahu kebiasaanku. “Aku juga kok… tapi jangan bilang-bilang ya….” Anang
berbisik, membuatku sedikit terkejut. Siswa seperti Anang yang kukenal sebagai
anak pintar, juga belum mengerjakan pekerjaan rumahnya. “Fisika… aku lupa, tadi
malam keasyikan nonton bola” Anang menjelaskan lebih lanjut. Aku tersenyum,
menahan tawa. Terkadang, Anang memang lucu dan membuatku tertawa. Akhirnya kami
mengerjakan tugas bersama. Tentu saja bersama dalam artian aku mengerjakan
tugas Bahasa Indonesiaku dan Anang mengerjakan tugas Fisikanya. Nina ikut
bergabung sambil membaca novel yang dia pilih.
Anang, sosok ini sebenarnya sangat
menyenangkan. Dia tipe anak laki-laki yang tidak terlalu suka cari perhatian,
tapi penuh perhatian. Dia sering melakukan hal-hal kecil yang membuatku
tersentuh. Kepada siapapun. Misalnya, ketika menyeberang dia akan selalu
berusaha di sisi paling kiri atau kanan untuk bisa menyeberangkan teman-temannya. Atau
waktu di kantin, aku beberapa kali melihatnya membantu mengambilkan sendok atau
barang temannya yang tak sengaja terjatuh di dekatnya. Aku juga pernah dibuat
tersenyum dengan cara dia mencarikan jalan untukku dengan tangannya yang seolah
memberi pagar agar aku bisa lewat saat berjalan dikeramaian. Bagiku itu adalah
hal-hal sepele, tapi menarik perhatianku. Jika pada hal sesepele itu saja dia
peduli dan berlaku dengan sopan, tentu saja dia juga akan peduli pada hal yang
lebih besar. Selain itu, Anang adalah sosok yang menyenangkan untuk diajak
bicara. Dia selalu mampu membuatku terkesan dengan pemikiran-pemikirannya dan
wawasan tentang dunia luar yang tidak kuketahui. Terlepas dari apa yang dia
katakan benar atau tidak, tapi aku banyak tahu dengan berbicara dengannya. Dia
suka berdiskusi tentang hal-hal di masa depan yang ingin dia lakukan. Dan lagi,
aku selalu terkesima setiap mendengar impian orang lain tentang masa depan yang
optimis. Meskipun dia tidak sepopuler anak-anak basket, pecinta alam, maupun anak-anak
ekskul lainnya, tapi bagiku Anang adalah sosok yang menarik. Membuatku selalu
antusias ketika berbicara dengannya, membuatku tak pernah khawatir akan masa
depannya. Dia tahu apa yang akan dia lakukan.
Aku dan Anang sebenarnya dekat karena
Nina. Nina dan Anang adalah tetangga dan teman bermain sejak kecil. Awalnya,
kupikir Nina suka dengan Anang. Tapi setiap kali aku mendesak dan menggodanya,
Nina bilang kalau dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Anang. Mungkin
karena mereka sudah terbiasa bersama sejak kecil sehingga mati rasa. Begitu
jawaban Nina. Dan aku mempercayainya, meskipun hati kecilku masih
mempertanyakan sikap Nina pada Anang. Entahlah, terkadang aku punya perasaan
yang berbeda terhadap orang-orang di sekitarku. Percaya atau tidak, aku sering
benar dalam menebak kondisi seseorang. Aku menyebutnya dengan aura. Aku suka
merasakan aura yang berbeda-beda pada setiap orang, tergantung sifat dan
perasaan orang itu.
Sore itu, aku kembali menunggu bus
bersama Hanna, Nisa, dan Rian di depan sekolah. Kami memang terbiasa pulang
hingga sore hari. Pelajaran resmi sekolah berakhir pukul 14.00 dan pukul 15.00
biasanya kami ada kegiatan ekstrakurikuler hingga pukul 17.00. Kami menunggu
hampir 30 menit, aku sudah mulai was-was kalau tidak dapat bus. Semua bus yang
lewat depan sekolah kami penuh. Aku tidak mau mengambil resiko bergelantungan
di depan pintu bus. “Sudah hampir maghrib nih…
Gimana gengs?” Nisa juga mulai resah
dengan sesekali melihat jam tangannya. “Ya udah…
kalo ada bus, naik aja…” Hanna mengusulkan. “Kalo bergelantungan di pintu?” aku
mencoba memprotes. “Daripada gak
pulang Rin, atau lu mau nunggu di
sini sampai malam?” Rian membenarkan Hanna. Aku terpaksa menurut. Kalau saja
kakakku atau ayahku bisa menjemput, sayangnya mereka berdua sama-sama sedang
tidak di rumah karena ada urusan masing-masing. Setelah menunggu beberapa
menit, akhirnya ada juga bus yang datang. Penuh. Dan kami tetap nekat masuk ke
dalam bus. Kondektur bus juga tetap saja berkata “kosong, kosong… masih bisa
naik… ayo, ayo…”. Hanna dan Nisa mendapatkan tempat agak di tengah-tengah
koridor bus, walaupun berdesakan berdiri bersama penumpang yang lain. Sementara
Rian kulihat dia beruntung karena mendapatkan tempat duduk walaupun dikursi
paling belakang. Sepertinya ada orang yang berbaik hati memberikan kursi itu.
Dan aku, guess what… aku terjebak
tepat di depan pintu bus. Berdesakan dengan beberapa penumpang yang juga masih
berseragam sekolah. Memang di kota kami, anak-anak sekolah sering pulang hingga
sore hari. Mengeluh? Tentu saja sebenarnya aku ingin mengeluh, tapi mungkin ini
adalah rejeki untuk anak sepertiku yang paling suka mengeluh dibandingkan
teman-temanku. Oke, My Beloved Rabb….
Aku tidak akan mengeluh, aku akan bersabar… Keep
smile Erin…
Perjalanan 15 menit dari sekolah
menuju halte dekat rumah kami terasa berjam-jam bagiku. Belum kalau ada
penumpang yang hendak turun, membuatku harus ikut naik turun bus memberi jalan
karena aku terjebak tepat di depan pintu. Akhirnya aku bernafas lega, ketika
kami sampai di halte tujuan. Banyak penumpang yang turun, termasuk aku, Hanna,
Nisa, dan Rian. Eh, tunggu… Siapa sangka anak laki-laki yang setiap pagi
kulihat menunggu bus di halte dan selalu duduk di kursi paling belakang dekat
pintu juga ikut turun. Dan aku bersyukur karena aku memilih untuk tidak
menyalahkan Tuhan atas terjebaknya diriku di depan pintu bus, kenapa? Tentu
saja karena ternyata anak laki-laki itu sama-sama terjebak bersamaku di depan
pintu. Dialah anak laki-laki berseragam sekolah yang berada tepat di
belakangku, dan aku tidak mengetahuinya. Jadi… orang yang sejak 15menit lalu
tangannya menghalangi pintu masuk demi melindungiku dari angin adalah anak
laki-laki itu. Aku tersenyum sendiri, merasa Ge-eR untuk kesekian kali. Padahal
sebenarnya, apa yang dia lakukan mungkin saja hal biasa yang juga akan dia
lakukan pada siapapun yang berada diposisiku. Tapi begitulah, ketika kita
merasa tertarik dengan seseorang, apapun yang dilakukan orang itu terasa istimewa.
Am I right gengs?
Namaku Erin, siswi kelas XI SMA
Parangen. Pagi-pagiku masih kulewati dengan datang paling akhir di halte,
berangkat ke sekolah bersama Hanna, Nisa, dan Rian juga anak laki-laki yang
tidak kuketahui namanya. Kebiasaan anak laki-laki itu masih sama, duduk di
kursi paling belakang dekat pintu. Aku masih tetap suka diam-diam
memperhatikannya. Setidaknya, sekarang aku sudah tahu dia sekolah dimana. Tahu
darimana? Tentu saja aku tahu dari seragam sekolahnya. Setiap hari sabtu, di
kota kami, anak-anak sekolah wajib mengenakan seragam identitas sekolah
masing-masing. Jadi dari seragam sekolah yang kami kenakan, kita bisa
mengetahui dari sekolah mana. Meskipun aku agak lama mengetahui seragam yang
dia pakai seragam sekolah mana. Di sekolah, kebiasaanku masih sama. Mengerjakan
pekerjaan rumah di sekolah, pergi ke UKS (Unit Kesehatan Sekolah) dengan alasan
sakit atau menemani teman yang sakit untuk bolos mata pelajaran, berlama-lama
di kantin atau musholla dengan alasan sholat dzuhur meskipun bel tanda masuk
telah berbunyi. Anang? Tentu saja aku masih sering terkagum-kagum padanya. Dia
masih sama, cerdas, sopan, dan perhatian pada semua orang. Sekarang dia lebih
banyak fokus pada pelajaran karena sudah kelas XII. Di sekolah kami, anak-anak
kelas XII disarankan untuk tidak mengikuti ekskul dan diganti dengan kelas sore
tambahan untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir kelulusan.
Aku masih sering bertemu dengan Anang,
berbincang banyak hal. Berdiskusi hal-hal ringan, hingga berdebat
mempertahankan pendapat kami masing-masing. Dan tentu saja akhir perdebatan
kami bisa ditebak, aku menyerah mengakui kalo pemikirannya lebih bisa diterima
daripada pemikiranku yang suka berimajinasi dan tidak masuk akal.
Sore ini, hari Minggu. Aku datang ke
rumah Nina. Ada perayaan ‘sweet seventeen’
Nina. Aku datang bersama Hanna, Nisa, dan Rian. Mereka bertiga juga diundang
karena Nina juga mengenal baik mereka. Teman sekelas, dan beberapa teman beda
kelas, serta teman-teman bermain Nina, termasuk Anang dan beberapa teman
sekolah Anang ikut meramaikan acara Nina. Tidak banyak teman-teman sekolahku
yang merayakan ulang tahun ke-17 mereka. Aku sendiri tidak bermaksud
merayakannya. Meskipun begitu, aku merasa senang bisa datang ke acara Nina.
Sangat menyenangkan. Seusai acara, aku kembali berbincang dengan Anang. Aku tak
pernah bosan mengobrol dengannya. Selalu ada topik baru dan menyenangkan.
mini tumpeng |
Malam itu, aku tersenyum sepanjang
malam memikirkan kata-kata Anang. Meskipun begitu, ada keraguan dalam hati, ada
rasa enggan untuk menyambut pagi. Esoknya, aku kembali tergesa-gesa ke halte
sebelum Hanna, Nisa, dan Rian memasang wajah jengkel. Aku datang lebih awal
dari biasanya, meskipun tetap yang paling akhir. Anak laki-laki yang setiap
pagi kujumpai juga masih sama. Aku melihat ke arahnya sebentar. Tapi perasaanku
berbeda kali ini, entahlah… Sehebat itukah efek kata-kata Anang sampai mampu
merubah perasaanku. Aku belum menceritakan kejadian di pesta ulang tahun Nina
kemarin kepada Hanna, Nisa, maupun Rian. Aku akan menceritakannya nanti, usai
pulang sekolah. Sampai di sekolah, aku menjalani kegiatan belajar seperti
biasa, meskipun dalam hati tak sabar menunggu istirahat tiba. Saat istirahat
tiba, aku ceritakan kejadian kemarin pada Nina. Nina adalah orang pertama yang
kuberitahu. Aku meminta pendapatnya. Dan Nina tampak antusias, mengatakan bahwa
Anang orang yang baik. Sepulang sekolah, ketika aku bercerita tentang Anang
pada Hanna, Nisa, dan Rian, mereka juga tampak sangat antusias. Malah banyak
menggodaku, mengingatkan aku pada anak laki-laki di halte bus yang setiap pagi
kami temui. Meskipun kakakku bilang anak perempuan itu ribet dan tidak praktis,
aku tetap senang menjadi anak perempuan. Karena aku tahu, bahwa anak perempuan
memiliki perasaan yang mendalam. Perasaan untuk saling berbagi, perasaan yang
mungkin bagi anak laki-laki merepotkan tapi sebenarnya menyenangkan. Itulah kami,
anak perempuan. Makhluk sosial yang tak bisa hidup sendirian.
![]() |
Wisuda Unmer'10 |
Seminggu setelah wisuda kelulusan
anak-anak kelas XII, aku harus rela membiarkan Anang pergi ke luar kota
melanjutkan study-nya. Meskipun
begitu, aku merasa bahagia. Karena akhirnya Anang selangkah lebih dekat dengan
cita-citanya. Aku juga sudah tidak pernah melihat anak laki-laki yang biasa
menunggu di halte. Terkadang aku masih berharap bisa melihat anak laki-laki
itu, tapi aku sudah tidak pernah melihatnya lagi. Mungkin dia juga telah lulus
SMA. Saat usiaku 17 tahun, ayahku mengijinkanku membawa sepeda motor sendiri,
tentunya setelah aku mengantongi SIM (Surat Ijin Mengemudi). Hanna, Nisa, dan
Rian juga telah diijinkan mengendarai sepeda motor ke sekolah. Kami masih suka
berangkat bersama, walaupun terkadang kami berangkat sendiri-sendiri. Kakakku
masih saja suka usil tentang persahabatanku dengan teman-temanku. Membandingkan
persahabatan anak laki-laki dan anak perempuan.
Namaku Erin, siswi SMA Parangen kelas
XII. Aku menjalani masa-masa SMAku selayaknya anak-anak SMA lain. Aku masih
dengan kebiasaanku, mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah. Nilai-nilai
pelajaranku tidak banyak berubah, aku masih saja selalu mengikuti ujian ulang
untuk mata pelajaran Biologi karena nilaiku sering merah.Tapi untuk mata
pelajaran Kimia, aku masih sering mendapatkan nilai yang baik. Hubunganku
dengan Anang? Aku sudah beberapa bulan ini tidak menghubungi Anang, kekasihku
yang sedang kuliah di luar kota. Ada beberapa alasan yang membuat kami semakin
jauh. Apapun itu, aku masih menganggap Anang sebagai teman yang menyenangkan. Anak
laki-laki yang kulihat di halte? Aku benar-benar kehilangan jejaknya, aku tak
pernah melihatnya lagi sejak aku kelas XII. Biarlah namanya tetap menjadi
misteri. Terkadang kita hanya harus mengikuti nurani kita. Meskipun itu sering
tidak seirama. Kita tidak harus terpaku pada prinsip-prinsip yang kita buat
sendiri, cobalah membebaskan diri sendiri dengan beradaptasi pada keadaan.
Biarkan diri kita mendapat kesempatan yang lebih banyak dengan membebaskan diri
dari idealisme yang mengekang. Yang terpenting adalah kita tetap berpegang
teguh pada tujuan kita, pada apa yang menjadi kata nurani terdalam kita….
Apapun itu, aku bahagia dengan kehidupanku. Tak pernah ada nikmat Tuhan yang
terlewatkan, sahabat-sahabat terbaik, masa-masa terbaik, bahkan jika aku diberi
kesempatan untuk memutar waktu aku tidak akan merubah apapun yang telah
kulalui. Karena aku tahu, rencana Tuhan selalu yang terbaik. Aku hanya sedang
belajar mensyukuri semua pemberian-Nya, belajar untuk dapat beradaptasi dengan
lebih baik….
Beritahukan
kepadaku….
Seberapa
menakjubkannya sang surya di pagi hari….
Masihkah
kau menyangkal keindahannya….
Komentar
Posting Komentar