DEANTA (Part. 4)
Part 3 ....
"Nduk, ibu bohong kalo ibu tidak ingin memiliki kebahagian ibu sendiri...."
Aku menatap lekat ke mata ibu, ada seulas senyum terpancar dengan begitu tulus. Meskipun harus hidup dengan penuh kekurangan seperti ini, Ibu tetap saja tersenyum. Aku tak pernah melihat ibu mengeluh. Yang ada justru akulah yang sering mengeluh, mempertanyakan kenapa Ibu bisa setegar ini, sekuat ini. Yang membuatku terus ingin berusaha membahagiakan Ibu. Sungguh, aku selalu bersyukur dengan apa yang kumiliki. Ibu dan kang Yopi, adalah hartaku paling berharga. Memiliki mereka berdua membuatku selalu bahagia. Merekalah yang mendorongku untuk menjadi lebih baik. Bahkan , aku ke kota juga karena ingin membahagiakan mereka. Dan sekarang.... lihatlah diriku. Deanta yang sudah tidak kukenali lagi.
"siapapun pasti ingin memiliki kebahagiaan mereka sendiri. Tapi nduk, kebahagiaan itu sejatinya hanya sesuatu yang dibuat manusia itu sendiri, tidak tampak oleh mata. Apa kamu tidak bahagia?" Ibu menuangkan teh ke gelasku lagi, Ibu bukan lulusan universitas, setahuku bangku SMP saja tidak tamat. Tapi ibu selalu mampu mengajariku banyak hal, hal yang tidak kudapat di sekolah manapun.
"Dea bahagia bu... Tapi... ada sesuatu yang hilang dari diri Dea...." aku kembali menyeruput teh buatan ibu. Nikmat. Pahit dan manis, dua rasa berbeda namun sangat nikmat dinikmati bersama. Betapa hidup ini tak pernah bisa kumengerti. Bagaimana bisa dua rasa berbeda mampu membuat lidahku menikmatinya, tanpa mempersoalkannya.
"nduk... mungkin bulan depan kamu harus ijin lagi. Kangmasmu mau melamar seorang gadis" Ibu melirik ke arah kang Yopi sembari menggoda, membuat kang Yopi tersipu. "Ibu niki nopo tho..." kang Yopi malu-malu. Aku hampir tersedak, kabar bahagia. Dan kang Yopi tidak memberitahuku sama sekali. "aaaahhhh.... kang... kok ndak kasih tahu sih, kang Yopi main rahasia sekarang sama Dea" aku merajuk ke kang Yopi. Meskipun aku bahagia mendengarnya, tapi entah kenapa aku juga memiliki perasaan takut. Takut kehilangan kakak satu-satunya bagiku. Sosok laki-laki yang selalu mengalah untukku, menjaga ibu dan aku menggantikan posisi bapak. "siapa gadis beruntung itu kang..." aku menyikut-nyikut lengan kang Yopi yang tengah asyik memotong kayu bakar sembari mengusap peluh di dahinya. Rumah ini memang tak memiliki sekat apapun, tak ada rahasia di rumah ini. "kamu kenal kok De.... bukan gadis itu yang beruntung, tapi kakang yang beruntung.... Mirna, yang dulu ngajarin kamu ngaji" kang Yopi agak malu. Aku masih tak percaya "mbak Mirna...? Mbak Mirna yang ngajarin Dea ngaji dulu? yang cantik dan baik itu..." aku terbayang sosok lemah lembut nan pendiam, namun tampak cerdas. Mbak Mirna, setahuku dari keluarga sederhana, setelah menamatkan SMA memilih untuk mengabdikan diri di kampung menjadi guru ngaji di sore hari, dan pagi hari membantu di kantor kelurahan sebagai pegawai tidak tetap. Bagaimana bisa? mbak Mirna yang ayu dan kang Yopi yang biasa saja, pekerjaanpun juga tidak menjanjikan. Kang Yopi yang bekerja di sawah dan serabutan, bahkan hanya lulusan SMP. Tapi lihatlah, wajah kang Yopi bersemu merah. Ibu tersenyum bahagia. Dan aku.... aku benar-benar merindukan perasaan ini, perasaan sederhana yang menyenangkan.
....... Part 5
*Mencoba melanjutkan tulisan di tahun 2013 yang belum tahu endingnya ^_^
Dulu arahnya kemana ya nih tulisan...
Komentar
Posting Komentar