DOMINO EFFECT #3

Jembatan menuju waduk widas madiun
Madiun,
Kapan terakhir kali aku melihat senja di pantai...
Sembari mendengar senandung ombak yang bergemuruh memecah keheningan...
Aku ingin belajar untuk diam...

Suara alarm-ku pagi ini tidak berhasil membangunkanku. Semalam aku bermain game hingga larut malam, meskipun mataku sudah memberi sinyal meminta haknya beristirahat, aku masih memaksa untuk menyelesaikannya. Alhasil, bangun pukul 07.00 bukan hal yang aneh lagi bagiku. Sembari mengunyah roti isi, aku menstarter sepeda motorku. Menutup pintu pagar sembarangan, dan buru-buru ke kantor. Pekerjaan memperbaiki gorong-gorong disepanjang jalan membuatku mengumpat dan mengeluh. Bagaimana tidak, ini sudah bulan kedua sejak pemerintah kota memperbaiki saluran air dipinggir jalan. Perbaikan ini seharusnya menjadi hal yang baik untuk semua, untuk kenyamanan bersama, tetapi kenyataannya hampir semua jalan dibongkar dan tidak selesai-selesai. Sepanjang jalan penuh tumpukan pasir dan beberapa alat berat. Apalagi sekarang sedang musim hujan, jalan menjadi berlumpur, licin, dan sempit. Macet dimana-mana. I really hate this. Damn...!!!

Aku melajukan sepeda motorku lebih cepat, meskipun jalanan sudah macet sepagi ini aku mencoba selip kanan-kiri. Tak peduli dengan umpatan beberapa orang yang kuselip dan kubuat kaget dengan cara mengendaraiku. I don't care.

Aku sedikit lega ketika sudah berada di jalan yang lebih lebar, tanpa ada gangguan pekerjaan jalan. Aku mempercepat laju sepeda motorku. Traffic light kulewati begitu saja, pura-pura tidak mendengar suara klakson dan teguran pengendara lain. Aku mencoba mempercepat lagi laju kendaraanku, dan...
"krak..." seketika sepeda motorku berhenti, tanpa aku menekan rem. Aku kehilangan keseimbangan, insting bertahanku berjalan dengan baik. Roda belakangku terkunci, roda depanku memaksa menarik sepeda motorku yang memang kulajukan dengan kecepatan diatas rata-rata. Seperti seorang pembalap profesional, aku melakukan jumping road. Sayangnya, aku bukan pembalap profesional. Manuverku tidak berhasil. Aku memilih melepaskan kemudiku dan meloncat sebelum sama-sama jatuh bersama sepeda motorku. Pengendara di belakangku masih bisa tepat waktu menekan pedal remnya. Diikuti pengendara-pengendara lain di belakangnya. Berusaha menghindari tabrakan beruntun. Tidak ada korban jiwa. Semua selamat, selain sepeda motorku yang terkapar tak berdaya. Malang sekali. Dan lebih malang lagi, karena aku merasa kesal dengan sepeda motorku. "the damned..." aku menendang sepeda motorku yang tergeletak. Mencoba menariknya ke tepi jalan. Semua mata menatapku. Aku tak peduli apa yang dipikiran mereka. Sepeda motorku tidak mau bergerak, kucoba menariknya lagi tetap tidak bergerak. Roda belakangnya mengunci. Kutarik paksa, tidak bergerak juga. Suara klakson semakin banyak terdengar. Tidakkah mereka melihatku yang tengah berusaha menyingkirkan barang ini. Klakson bersahut-sahutan, membuat semakin ingin memaki "wooii.... gue tahu, ini baru gue singkirin bro...!!! berisik aja lu bisanya" sembari melotot ke pengendara yang membunyikan klakson aku mengeluarkan umpatanku. Lega. Tapi tidak memperbaiki keadaan. Aku menendang beberapa kali ke sepeda motorku. Pejalan kaki di kiri-kanan jalan menatapku heran dan takut. Tidak ada satupun dari orang-orang ini yang berniat membantuku, bodo amat.Aku tidak butuh bantuan mereka.

"damned..." aku kembali menendang sepeda motorku sembari memaki. "Mau marah seperti apa, sepeda motor itu tidak akan berdiri sendiri mas" aku menoleh, seorang bapak usia setengah abad mendekatiku, mengulurkan tangannya mendirikan sepeda motorku yang tergeletak. Lalu perlahan mengangkat bagian belakang sepeda motorku, membuat roda belakangnya ikut terangkat. Menuntunya perlahan, membawa sepeda motorku ke tepi jalan. Aku diam saja. Sebenarnya ingin memaki bapak tua itu, tapi urung. Bapak itu tersenyum."Lain kali hati-hati mas,sebelum pergi berdoa dahulu jangan terburu-buru. Semoga keselamatan selalu tercurah pada ananda" Bapak tua itu tersenyum, seolah menyindirku. Tapi aneh, aku tidak merasa tersindir. Raut wajahnya teduh dan menenangkan. Perilaku dan tutur katanya terasa begitu tulus.

Aku membawa sepeda motorku ke bengkel terdekat. Hanya satu perilaku dan tutur kata menyenangkan dari bapak tua yang membantuku tadi sudah mampu membuatku lebih tenang dan tidak semarah sebelumnya. Aku menelpon teman sekantorku mengabarkan bahwa aku terlambat datang. Sembari menunggu sepeda motorkku diperbaiki, aku memesan kopi dan sarapan di warung sebelah bengkel. Kulihat seorang tukang becak tengah tiduran dibecaknya. "Menunggu penumpang pak" aku iseng bertanya. "Iya mas. Sekarang sepi. Sudah banyak yang punya kendaraan sendiri" bapak itu lalu merubah posisinya menjadi duduk. "Mau kemana mas? mau saya antar?" Dia mencoba menawarkan jasanya. "Nggak usah pak, saya sedang menunggu sepeda motor saya yang diperbaiki di bengkel sebelah. Ngopi pak..." aku menawarkan. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. "Silahkan mas" bapak itu menolak halus. "Saya tidak basa-basi loh Pak, mari ngopi bareng saya" aku memang serius mengajak bapak itu. Bapak itu tampak tidak enak dan malu. Tapi aku melihat secercah kebahagiaan di wajahnya. Dia mengangguk malu dan bergabung bersamaku. Aku tersenyum. Senyum pertamaku di pagi ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART