DELIA


part. 2

cerita sebelumnya part. 1

pic from here
Kampung ini cukup menyenangkan. Entah sudah berapa lama aku tidak kembali ke kampung halaman. Melihat kampung ini, mengingatkanku pada kampung halaman. Ini sudah hampir 20 bulan sejak Delia dan suaminya memilih resign dari pekerjaannya. Bukan sesuatu yang kebetulan aku berada di sini. Aku sengaja menyempatkan diri ke sini karena aku merindukan Delia. Sejak Delia memutuskan resign ikut suaminya kembali ke kampung halaman menemani sang ibu yang tinggal sendirian, ada suara-suara yang mengganggu kepalaku. Aku berusaha menikmati rutinitasku bersama teman-teman lain, tapi tidak memberikan ketenangan atas kegelisahanku.

Tidak terlalu sulit untuk menemukan alamat Delia. Seperti kebanyakan orang di kampung, kalian bisa dengan mudah menanyakan seseorang kepada siapapun tanpa khawatir orang itu tidak mengenal orang yang kalian tanyakan. Hal ini sangat berbeda ketika aku memasuki duniaku sekarang di kota. Aku bahkan tidak mengenal seluruh penghuni tempat aku kos. Bukan karena aku tidak mau bersosialisasi. Kos tempatku menumpang memiliki 5 lantai dengan 8 hingga 12 kamar setiap lantai, masing-masing kamar dihuni pekerja sepertiku. Berangkat pagi pulang malam. Sampai kos hanya tinggal merebahkan diri beberapa jam saja. Apalagi saat malam menjelang weekend, aku bisa pulang lebih malam untuk hangout bersama teman, dan berakhir bangun siang esok harinya. Bagi sebagian perantau yang meninggalkan keluarga di kota lain akan memilih pulang menemui keluarga mereka saat weekend tiba. Apa yang aku kejar dalam hidup ini?

Rumah ini cukup besar, dengan halaman yang tertata rapi. Beberapa pot bunga berjajar sebagai pagar dan tidak ketinggalan pohon kelapa yang menjulang tinggi -seperti yang kutemui sepanjang jalan- di belakang rumah hingga melebihi tinggi rumah itu sendiri. Di samping teras rumah ada sebuah ruangan ukuran 4x4 meter dengan jendela dan pintu yang terbuka lebar. Tampak mesin jahit dan lembaran kain tergulung rapi beserta peralatan lainnya. Seorang wanita berhijab cantik tengah asik mengayuh pedal mesin jahit. Wajahnya teduh dan menyenangkan. “Assalamu’alaikum,” aku menyapa lebih dulu. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” perempuan itu tidak berubah sama sekali selalu menjawab salam dengan lengkap. Dia menoleh, lalu berseru “Deanta! (cerita Deanta)” seketika perempuan itu menghentikan pekerjaannya dan langsung memelukku. Dialah Delia.

Aku sama sekali tidak melihat sesuatu yang berubah pada diri Delia. Sederhana, bersahaja, dan lemah lembut. Wajahnya terlihat jauh lebih bercahaya meskipun tanpa make up. Kami berbincang lama. Dari perbincangannya, aku tahu bahwa Delia sekarang menerima permintaan jahitan dari tetangga. Upahnya tidak terlalu besar dan terkadang juga disesuaikan dengan kemampuan tetangga. Sedangkan Rama, suami Delia bekerja di kantor kecamatan sebagai pegawai tidak tetap sembari berternak ayam dan beberapa ekor kambing di belakang rumah. Memang penghasilan mereka berdua jika digabungkan jauh lebih sedikit bahkan lebih kecil dari penghasilan Delia seorang diri waktu masih bekerja di perusahaan yang sama denganku. Tetapi, Delia bilang bahwa dia tidak kekurangan sama sekali. Banyak hal yang bisa dilakukan Delia selama di kampung. Mengasuh anak-anak, menjaga ibu mertua, mengajar ngaji di musholla, berbagi ilmu dengan ibu-ibu PKK, pergi ke posyandu, dan masih banyak hal lain yang bisa dilakukan. Tinggal di kampung tidaklah seburuk yang Delia bayangkan, meskipun juga ada hal-hal yang tidak lebih baik daripada di kota. Pemahaman soal agama, fasilitas dan kualitas pendidikan juga kesehatan –yang sering tertinggal karena banyak faktor- kebiasaan bergosip –baik di kota maupun di kampung sama saja- atau kebiasaan ibu-ibu yang suka membentuk kelompok sendiri-sendiri. “Hidup di mana saja sama Ta, kita tidak akan pernah menemukan tempat yang sempurna selama kita hanya melihat hal buruknya saja,” Delia tersenyum bijak.

“Rejeki bisa datang darimana saja. Kalau musim panen tiba, meskipun kami tidak bercocok tanam sendiri, alhamdulillah ada saja pemberian dari tetangga untuk kami. Asal kita mau terus bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki, yakinlah kita sebenarnya kaya sekali,” Delia kembali dengan kata-kata magic-nya. “Kesehatan kita misalnya. Kita sering mengeluh dan tidak bersyukur dengan kesehatan yang kita punya hanya karena kita tidak bisa membeli barang yang kita inginkan. Kita hanya mengukur kekayaan dari kemampuan kita membeli sesuatu. Kita lupa, berapa harga yang harus dikeluarkan untuk sepasang mata jika sakit. Berapa harga jantung kita, paru-paru kita, dan organ tubuh kita yang lain,” suara lembut Delia selalu membangunkan kesadaranku. Aku bahkan sering lupa berdzikir untuk tubuh ini. “Kaya atau miskin secara materi bukan jaminan seseorang bahagia, juga bukan jaminan ketakwaan seseorang pada Sang Pencipta. Kaya atau miskin adalah ujian dan amanah yang harus kita lewati dan kita pertanggungjawabkan. Orang kaya belum tentu lebih bahagia dari orang miskin, sebaliknya orang miskin juga belum tentu lebih bahagia dari orang kaya. Yang membuat kita bahagia atau tidak adalah cara kita menjalani hidup ini,” Aku hanya diam. Delia, entah bagaimana dia bisa tahu bahwa itu adalah salah satu jawaban yang sedang kucari. Kegelisahan ini tidak kunjung berakhir meskipun aku sudah berusaha melakukan beberapa hal untuk menenangkannya. Aku lelah, aku tidak tahu kemana aku akan melangkah. Aku merasa sudah tidak memiliki tujuan.

“Bagaimana kabar Ibu dan Kang Yopi? Baik?” pertanyaan Delia membuyarkan lamunanku. Ibu dan Kang Yopi adalah orang yang paling banyak berkorban untukku, keluarga yang kupunya. Kapan terakhir kali aku pulang? aku bahkan hampir lupa. “Ya, alhamdulillah sehat,” suaraku tercekat ditenggorokan, jelas terdengar sebuah keraguan. Aku rindu kampung halaman.

“Ta, dimanapun kamu berada, kamu hanya harus bersyukur dan berbuat baik. Di kota atau di kampung, sama saja. Keluarlah dari zona nyamanmu, dan temukan apa yang ingin kamu lakukan,” ada kelembutan dan ketegasan sekaligus dalam tatapan Delia. Aku hanya diam dan mengangguk. “Oya, aku membawa sesuatu buat si kecil dan ibu mertuamu, juga ada beberapa buku favoritmu,” aku hampir melupakan apa yang sudah kubawa. “Alhamdulillah, senang sekali! jazakallah khairan saudariku,” senyum Delia berkembang saat membuka paperbag berwarna coklat yang kuberikan. Aku ikut tersenyum, tanpa kusadari kegelisahanku menghilang sejenak. Sesederhana itu untuk bahagia.


Madiun, 13 November 2018 pukul 22.39 WIB
Melenceng dari naskah awal…
Apa boleh buat… hahaha

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROVER

WEEKEND... ALUN-ALUN KOTA MADIUN SEASON

WEEKDAYS.... CANDI SADON PART